Oleh: Basrowi
Umat Islam memandang agama sebagai sikap hidup manusia di muka bumi. Di dalamnya termasuk cara mengorganisasi aktivitas ekonomi demi kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Isalam di samping memberikan prioritas utama pada kebutuhan spiritual manusia, juga menekankan pentingnya dimensi ekonomi dan materi dalam kehidupan.[1]
Secara naluri, manusia cinta dengan harta dan benda. Harta dan benda secara alamiah diperoleh oleh manusia melalui sebuah interaksi ekonomi diantara sesama mereka. Sering kali terjadi persaingan yang tidak fair diantara manusia ketika mereka melakukan interaksi ekonomi sesama mereka.[2]
Selain itu, manusia adalah mahluk hidup yang telah diberi keistimewaan oleh Allah Swt. berupa kemampuan akal, budi dan daya pikir guna mengolah dan mengelola alam raya ini untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidupnya. Karena itu manusia berjuang dan berusaha untuk mendapatkan aneka barang dan jasa. Upaya itulah manusia melakukan kegiatan yang disebut dengan kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ini melahirkan pelbagai macam hubungan yang bersifat subyektif, sebab masing-masing berusaha memenuhi kebutuhannya dengan pelbagai konsekuensinya.[3]
Manusia juga merupakan makhluk ekonomi, dikarenakan transaksi ekonomi bagi manusia dalam kehidupannya merupakan sebuah keniscayaan. Manusia sebagai makhluk ekonomi, dalam artian: tidak ada satupun manusia dalam hidupnya melainkan membutuhkan manusia lain dalam sebuah transaksi ekonomi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, demikian pula sebaliknya. Profesi apapun yang digeluti oleh manusia, mesti dia membutuhkan manusia yang menekuni profesi di luar profesinya, seperti: seorang pedagang membutuhkan keberadaan seorang petani, demikian pula sebaliknya.[4]
Manusia merupakan makhluk ekonomi, dikarenakan cinta dan senang terhadap materi merupakan bagian dari fitrah manusia. Tidaklah benar ketika manusia dilarang untuk menikmati materi, dikarenakan manusia tercipta memiliki dua unsur, unsur materi yang membutuhkan asupan yang bersifat materi, dan unsur immateri yang membutuhkan asupan yang bersifat immateri, sehingga ajaran apapun yang melarang manusia untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau materi, merupakan ajaran yang bertolak belakang dengan fitrah manusia tersebut.[5]
Problema manusia sebagai makhluk ekonomi adalah banyak dari manusia yang berlebihan dalam mencintai materi, sikap berlebihan inilah yang kerap melupakan manusia dengan menjadikan materi sebagai tujuan bukan perantara. Tujuan dari hidup manusia sejatinya adalah kehidupan dan kenikmatan ukhrawi yang kekal. Materi sebatas perantara guna mendapatkan tujuan tersebut. Akan tetapi, ketika perantara berbalik menjadi tujuan, akan kita dapatkan tipikal manusia yang korup, serakah, manipulatif, monopolistik, dan kikir.[6]
Untuk meminimalisasi terjadinya pelbagai benturan kepentingan dalam kegiatan ekonomi yang berdampak terjadinya kekacauan, perlu ada tata aturan hukum dalam masyarakat. Karena itu, sebagai sebuah sistem, ekonomi tidak mungkin dapat dipisahkan dari supra sistemnya yaitu Islam, karena ilmu ekonomi adalah satu bagian dari ilmu agama Islam. Dengan demikian tata aturan hukum diharapkan dapat membawa ketenangan dan ketentraman masyarakat.[7]
Pada suatu segi Alquran tidak melarang manusia untuk mencari keuntungan dalam tingkah laku ekonomimya, tetapi pada waktu yang sama diperintah- kan pula melaksanakan fungsi sosial dalam harta kekayaannya. Demikian pula halnya Alquran me- merintahkan golongan kaya untuk tidak melupakan kaum miskin, tetapi pada waktu yang sama kaum miskin juga dilarang untuk memperhatikan status ke- miskinannya dan harus berusaha mengubah nasib dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Alquran juga mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan dalam melestarikan nilai-nilai moral dan rohaniah sambil terus melanjutkan usaha masing-masing dalam bidang ekonominya.[8]
Sebagai contoh: berkaitan dengan sikap korup, Al-Qur'an mewanti-wanti manusia untuk tidak bersikap curang, bahkan Al-Qur'an pun mengancam manusia yang kerap bersikap curang dengan adanya hari kebangkitan, dimana praktek curang yang kerap dilakukan oleh manusia secara sembunyi-sembunyi, pada hari kiamat kelak akan ditampakkan dan kepadanya kemudian ia pun akan diminta pertanggung jawabannya.[9]
Sejatinya antara manusia sebagai makhluk ekonomi dan manusia sebagai makhluk sosial saling berkaitan. Perintah Al-Qur'an bagi manusia untuk melakukan ibadah yang bersifat sosial dan ekonomi dalam waktu yang bersamaan, menegaskan keterkaitan antara unsur sosial dan unsur ekonomi dalam diri seorang manusia.[10]