Lihat ke Halaman Asli

Sofyan Basri

Anak Manusia

Aku Bukan Apa-apa, Kita Bukan Siapa-siapa

Diperbarui: 11 Februari 2020   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lagi-lagi manusia. Iya lagi-lagi manusia yang menjadi segala sumber segala sesuatu. Dalam keterangannya sebagai kebebasan berpikir, manusia melahirkan pemberontakan sekaligus penghancuran pada keadaan-keadaan hari ini.

Entah sampai kapan, padahal kebebasan berpikir pada dasarnya berujung pada kesadaran. Akan tetapi, tidak semua manusia menemukan itu. Tidak semua manusia mencapai dalamnya kedalaman itu. Sekali lagi, tidak semua. Sebab itu adalah kompleksitas yang butuh perenungan ke dalam diri.

Kebebasan berpikir pada umumnya hari ini hanya melahirkan eksistensialis seperti yang diperingatkan oleh Jean Paul Sartre, seroang pernulis dan peraih nobel sastra (1964) Prancis. Bahwa ancaman itu pada dasarnya datang dari benda seperti dalam novelnya La Nausse.

Iya, begitulah sejatinya manusia hari ini. Bahwa benda lebih menarik untuk diperkenalkan karena dapat melahirkan daya pikat yang luar biasa. Sehingga, kebebasan berpikir itu menjadi lemah karenya. Dan, apa yang terjadi selajutnya adalah penghacuran kebebasan berpikir itu sendiri.

Anda tentu pernah mendengar kalimat "kan saya ji, nasusaiko kah?". Ini adalah contoh kebebasan berpikir yang menghancurkan kebebasan berpikir itu sendiri. Bahwa seakan-akan kebebasan berpikir itu tidak terkait dengan kebebasan berpikir manusia yang lain.

Oleh karena itu, perlu dipisahkan antara kebebasan berpikir dan kebebasan hidup walau pada dasarnya keduanya saling terkait satu sama lain. Kebebasan berpikir tidak menyangkut tentang pilihan bahwa ini hanya "aku" sedang kebebasan hidup dapat menyangkut hal itu.

Gaya kalimat dari kalimat "kan saya ji, nasusaiko kah?" kuat kemungkinan akan berakhir pada eksistensi benda itu. Betapa banyak misalkan manusia memakai benda hanya untuk memperlihatkan eksistensialisnya. Emas, berlian, rumah mewah, mobil mewah, dan lain-lainnya.

Aku hanya ingin mengajak kita semua untuk menelisik asal muasal dari benda sebagai eksistensi itu. Anggaplah emas, maka emas ini dari mana datangnya? Apakah ia sesuatu dari "abdracadabra" kemudian ada? Apakah ia dicipta dan dibentuk manusia? Tentu bukan kan.

Lalu dari mana ia? Oh ternyata ia dari sebuah gunung yang ada di Papua. Untuk menemukannya, gunung itu digali, dibor, diledakkan, dan lain sebagainya. Siapa yang melakukan itu? Yah manusia kan. Itu sudah jelas. Demi apa? yah demi eksistensialis itu sendiri.

Apa masalahnya? Tentu ini akan menjadi pertanyaanya bukan. Maka tentu saja pertanyaan itu akan terjawab tentang sebuah keserakahan. Kenapa ini terkait keserahakan? Yah tentu saja karena manusia menggali, mengebor, dan meledakkan tanah yang tak lain adalah "bapak" dari keluarga besarnya sebagai bagian dari semesta.

Pada tulisan yang lain, aku pernah mengatakan bahwa alam semesta dan seluruh isinya adalah keluarga besar dimana tanah sebagai Bapak, laut sebagai Ibu, manusia sebagai Anak. Dan aku ingin menambahkan bahwa udara sebagai Jiwa dan api sebagai Nafsu. Jelas? Jika belum, cobalah masuki diri pada dalamnya kedalaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline