Siapa yang bisa menghindari bencana. Jika sudah menjadi takdir-Nya, kita bisa apa? Pada akhirnya manusia hanya akan menjadi debu yang beterbangan. Juga pada akhirnya hanya akan menjadi paling kecil diantara yang kecil. Yang nantinya akan melahirkan kesadaran atas kuasa Tuhan pada semesta.
Menengadah ke langit, kemudian bersyukur untuk yang masih hidup dan mengikhlaskan yang berpulang lebih cepat. Semua sudah menjadi jalan yang telah ditakdirkan. Biarkan saja itu terjadi. Toh semua yang hidup kelak akan mengalami kematian. Batu saja ada yang mati kan.
Gempa Lombok memang sangat memilukan. Tentu saja ini akan menjadi kerinduan yang sangat mengharukan kemudian. Betapa tidak, gempa yang pertama datang pada 29 Juli lalu itu memakan korban yang tidak sedikit. Yang pertama tentu saja adalah seorang pendaki asal Makassar, Muhammad Ainul Taksin.
Evakuasi yang dilakukan tim SAR sangat menegangkan terhadap jenazah Taksin yang dilakukan dengan menggunakan Helikopter di Gunung Rinjani. Begitu juga dengan para pendaki lainnya. Semua berduka atas kematian Taksin. Yang rupanya duka itu akan berlanjut pada tanggal 5 Agustus lalu.
Dimana gempa kembali mengguncang Lombok dengan 7,0 Skala Richter. Ribuan rumah hancur rata dengan tanah. Puluhan atau bahkan ratusan mesjid dan fasilitas umum lainnya pun bernasib sama. Dan yang paling mengerikan adalah 321 orang menyusul almarhum Taksin. Innalillahi wainnalillahi rojiun.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat telah terjadi 451 kali gempa bumi susulan hingga tanggal 10 Agustus, hari ini. 20 kali gempa di antaranya dirasakan sangat kuat oleh masyarakat. Bahkan, gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter kembali mengguncang pada 9 Agustus kemarin yang kembali membuat ribuan pengungsi panik.
Lalu pemerintah bagaimana? Tentu semua saudaraku para pembaca tahu. Saya tidak perlu lagi uraikan sedemikian rupa mengenai keadaannya. Yang pasti saya hanya secara pribadi ingin mengatakan pemerintah memang memberi perhatian dengan memberikan bantuan melalui Kementerian Sosial dan kementerian terkait lainnya.
Akan tetapi, menurut pandangan saya pemerintah belum sampai pada tataran peduli dan berempati. Kenapa? Tentu saja karena pemerintah tidak menjadikan Gempa Lombok sebagai Bencana Nasional. Yang tentu saja ketika itu dilakukan maka penanganan akan lebih masif dan berkelanjutan secara terstruktur dan terarah secara benar.
Malcolm Gladwell dalam bukunya "Blink (Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir" mengatakan "Tidak mungkin kita bisa peduli kepada seseorang tanpa mengenal keadaan mereka, tempat tinggal mereka, tetangga mereka, kehidupan mereka". Mungkin pemerintah saat ini sudah seperti harapan Malcolm ini. Namun hal itu tidak fokus dilakukan.
Sebab bagaimana tidak, gempa Lombok seakan tenggelam oleh hiruk pikuk perpolitikan sekarang-sekarang ini. Mulai dari jenderal baper, jenderal kardus, ulama Pilpres, dan jargon-jargon politik lainnya. Semestinya, politik tidak boleh mengalahkan kemanusiaan. Jika politik mengalahkan kemanusiaan maka itu menghancurkan cinta kasih.
Kupikir, untuk saat ini hanya ada satu sosok politisi yang tahu betul akan hal ini yakni, Fahri Hamzah. Terlepas dari seorang Fahri yang notabene adalah wakil rakyat dari Nusa Tenggara Barat (NTB), akan tetapi Fahri tidak memposisikan diri sebagai sorang yang antipati terhadap kemanusiaan. Rela meninggalkan riuhnya politik Pilpres yang mungkin bisa jadi panggungnya untuk tampil menampakkan diri. Tapi kemudian rela berbagi cerita dengan ribuan pengungsi, rela berbagi suka dan duka.