Lihat ke Halaman Asli

Sofyan Basri

Anak Manusia

Pengkerdilan Politik

Diperbarui: 9 Mei 2018   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sijai.com

Kontestasi politik dalam prosesi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) terus menjadi panas dan menegangkan. Kian hari semua menjadi serba saling menjatuhkan. Menjadikan nalar pikiran untuk kesekian, yang penting kepuasaan dibaliknya. Bahkan tak jarang intimidasi hingga provokasi.

Para pelakunya datang dengan mengatakan dirinya sebagai tim pemenangan, yang saya sebut sebagai setengah politisi. Sibuk bergerak secara massih untuk menaikkan elektoral calon yang diusungnya. Dibelakangnya, ada sejumlah yang mengaku dirinya sebagai politisi dengan label Kartu Tanda Anggota (KTA) partai politik tertentu.

Kemudian yang menjadi para elit adalah mereka yang menjadi otak gerakan. Menjadi tumpuan nasi dos hingga cost dengan segala bentuk gerakan. Dan dibelakangnya lagi, ada cukong dan para pembegal dan penyadera kekuasaan. Menyuplai pundi-pundi dengan iming-iming

Yang nantinya akan menjadi harimau bermata merah yang siap menyergap. Menagih sandang dengan berbagai catatan. Bahkan tak jarang bermain dengan jalan konspirasi melalui tekanan kekuasaan yang berkuasa. Atau malah bermain dengan oknum-oknum dengan dalih kedekatan.

Kupikir semua tentu tahu, siapa yang bermain dan mempermainkan apa. Siapa yang menyalakan api dan siapa yang berteriak. Bahkan, siapa yang memihak siapa dan siapa menolak siapa. Pada akhirnya akan terkuak, siapa yang memuakkan yang kemudian menjadi lumrah dan seperti biasa-biasa saja.

Mereka yang tahu tapi kemudian diam karena terkungkung dalam suatu sistem yang tidak fleksibel bahkan cenderung kaku. Mereka yang tidak tahu akan terus-terusan menjadi "dungu" kata yang akhir-akhir ini dipopulerkan oleh Rocky Gerung. Dan mereka yang sedang mencari tahu akan dipinggirkan atau bahkan diasingkan.

==========

Bersepakat diawal dengan melakukan deklarasi Pilkada dan Pilpres damai misalnya. Ini seperti cerita yang diulang-ulang saja. Toh pada akhirnya setiap mereka yang merasa berada dipihak satu dan pihak lainnya akan melakukan framing hingga membentuk kotak-kotak yang saling mengasingkan secara kemanusiaan.

Lihatlah bagaimana setiap calon kurang melakukan pendidikan politik terhadap tim pemenangan. Bahwa benar setiap kontestasi Pilkada itu akan ada menang dan kalah. Namun pada akhirnya, yang diberikan kepada tim hanyalah bagaimana strategi untuk menang.

Jarang atau bahkan tidak pernah memberikan bagaimana strategi untuk menerima dan menyikapi kekalahan. Sebagai bukti, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sedikitnya 49 gugatan sengketa Pilkada Serentak tahun 2017 lalu. Ini berarti ada yang salah. Dan masalah utamanya adalah setiap calon tahunya hanya akan menang, tidak mau tahu soal kalah.

Lalu apa indikasinya. Yah tentu saja melakukan segala macam cara dan instrumen untuk melakukan gerakan untuk menaikkan elektoral calon. Caranya gimana? yah tentu banyak hal yang bisa dilakukan. Kupikir ini bisa diklasifikasikan dalam dua hal. Pertama cara-cara menutup aurat dan kedua adalah cara membuka aurat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline