Pagi yang cukup dingin ditanggal 11 April 2017, saya membaca berita yang sangat hoboh dan gempar. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan disiram air keras oleh orang tak dikenal usai melaksanakan sholat subuh di masjid Al Ikhsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Dugaan sementara, dua orang pelaku yang sedang berboncengan menggunakan sepeda motor jenis matic. Usai melakukan aksinya, meraka pun langsung kabur. Dan hingga kini tidak tahu rimbanya. Sementara Novel yang mulai kesakitan menuju mesji untuk mencari bantuan dan air.
Sekitar pukul 05.30 WIB, Novel diantar menuju rumah sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading. Dari rumah sakit Mitra Keluarga, Novel kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Jakarta Eye Centre, Menteng, Jakarta pada hari yang sama. Dan pada akhirnya melakukan operasi mata di Singapura.
Kini, penyiraman air keras terhadap Novel sudah memasuki satu tahun. Akan tetapi, pengungkapan kasus tersebut masih jalan ditempat dan sangat jauh dari harapan. Kasus yang menimpa Novel adalah sebuah pelanggaran hukum yang sangat jelas dan berat.
Tapi sayang, negara seperti abai, acuh dan terkesan tidak serius dalam mengungkap kasus tersebut. Padahal negara ini mengaku sebagai negara hukum. Kupikir ini sangat jelas dalam pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Olehnya itu, pemerintah dan negara semestinya hadir untuk menegakkan hukum sesuai dengan yang tertuang dalam konstitusi.
Apalagi dalam UUD 1945 dalam pasal 28D ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, negara tidak boleh lalai dalam proses penegakan hukum.
Meski memang hingga kini Polri terus melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. Tapi tak sedikit yang mencibir jika pengutusan kasus Novel itu tak serius dilakukan. Dalam perjalanannya, kasus Novel terus diseriusi untuk dilakukan penyelidikan, namun disisi yang seperti menimbulkan beberapa kejanggalan.
Pertama, tidak ditemukan sidik jari. Dari TKP, ada barang bukti cangkir kaleng blirik hijau yang digunakan pelaku. Polisi menyatakan tak ada sidik jari yang ditemukan digagang cangkir, karena bentuknya kecil. Alasan ini cukup aneh sebab cangkir tersebut tentu digunakan pelaku untuk melakukan aksinya.
Kedua, rekaman kamera CCTV. Jika berkaca pada beberapa kasus yang diungkap oleh pihak Polri, CCTV kadang menjadi bukti kunci dalam pengungkapan yang kemudian dilakukan publikasi. Akan tetapi, CCTV yang diduga merekam kasus Novel hanya disimpan dan tidak dipublis.
Ketiga, menangkap lalu melepas terduga pelaku. Pada tanggal 10 Maret 2017, Polri kemudian menangkap terduga pelaku dengan inisial AL dan tiga lainnya. Namun, keempatnya dibebaskan oleh Polri karena dianggap tidak cukup bukti yang kuat untuk menjeratnya.
Keempat, inkonsistensi pernyataan Polri. Inkonsistensi dan perbedaan pandangan kasus Novel terjadi antara Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Mabes Polri, pernah menyebutkan telah mengetahui pelaku dan menangkapnya. Sedangkan Polda Metro Jaya meralat keterangan Mabes Polri dengan menyatakan yang ditangkap bukan pelaku. (Tempo, 3 Juni 2017).