Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 lalu adalah keberhasilan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri. Meski memang, belum bisa saya katakan sebagai puncak keberhasilan sebab bukanlah dirinya yang duduk pada kursi kosong satu RI
Namun demikian, capaian yang diraih oleh PDIP tak terlepas dari campur tangan Megawati. Dimana Joko Widodo muncul sebagai pemenang Pilpres yang ketika itu berhadapan dengan Prabowo Subianto. Keputusan Megawati yang memberikan kesempatan kepada Jokowi sangat ampuh yang kemudian membuat PDIP melenggang ke Istana.
Akan tetapi, ujian utama bagi seorang Megawati, Jokowi dan PDIP adalah mempertahankan kekuasaan yang diraihnya saat ini. Tentu ini bukanlah perkara yang mudah. Namun, mesti ada persiapan strategi yang matang. Jika tidak, maka kekuasaan yang sudah dalam genggaman akan lenyap seketika.
Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP yang dilaksanakan di Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Jumat (23/2 ) lalu, Megawati secara resmi mengumumkan Jokowi sebagai Calon Presiden (Capres) 2019 mendatang. Sikap Megawati itu secara psiko politik telah "percaya" pada Jokowi.
Sikap "percaya" Megawati kepada Jokowi memang semestinya didengungkan. Bahkan, saya mesti menekankan juga bahwa Jokowi memang kader PDIP yang dinahkodai oleh Megawati, akan tetapi Megawati harus menekan arogansinya kepada Jokowi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ketika Megawati memanggil Jokowi sebagai "petugas partai".
Sebab manuver politik Jokowi secara kasat mata tentu akan sangat berpengaruh pada PDIP. Sebagai contoh, ketika Jokowi gelisah dengan panggilan "petugas partai", mantan gubernur DKI Jakarta melakukan gebrakan melalui Luhut Binsar Pandjaitan dan Partai Golkar.
Hasilnya, Partai Golkar menjadi partai kedua yang mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres 2019 setelah NasDem. Saya pikir, keputusan yang diambil Golkar adalah sikap dukungan sekaligus bentuk ketiksukaan secara tidak langsung Jokowi yang seakan-akan didikte oleh PDIP dan Megawati.
Saya kira hal ini pulalah yang tangkap oleh Megawati sehingga terkesan tidak ragu lagi dengan Jokowi untuk dideklarasikan pada Rakernas lalu. Menekan Jokowi seakan-akan bukan sebagai Presiden akan berakibat kerugian bagi PDIP. Saya kira semua tahu hal ini.
Dengan demikian, situasi dan kondisi politik antara PDIP, Megawati, dan Jokowi dalam menatap istana pada periode kedua sudah berbeda. Jika sebalumnya Megawati dan PDIP dominan, maka untuk Pilpres kali ini Jokowi-lah pusat segala gerakan. Namun, tentu andil PDIP dan Megawati tidak bisa dilepaskan.
Gerakan Jokowi yang kasat mata tersebut kian nyata dengan munculnya gerakan sejumlah partai politik yang menyatakan siap mendukung di Pilpres. Antara lain Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Dan faktanya ketujuh partai politik tersebut melakukan deklarasi sebelum PDIP. Saya pikir ini unik sekaligus menyentil. Bahwa Jokowi dulu bukanlah Jokowi sekarang. Jika dulu Jokowi sedang belajar, maka sekarang posisinya Jokowi sudah paham sehingga tidak bisa lagi diremehka