Lika liku Setya Novanto dalam dunia politik di negeri entah berantah ini akhirnya pupus. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pencetak sejarah karena dilantik dua kali dalam masa jabatan yang sama itu kini resmi menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Koropsi (KPK).
Penetapan tersangka terhadap Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar karena diduga terlibat dalam kasus mega korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.
Kasus e-KTP sendiri telah bergulir selama kurang lebih 6 tahun hingga akhirnya disidangkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain KPK, kasus yang menurut dugaan melibatkan banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu sebelumnya juga pernah diusut oleh Kejaksaan Agung, dan Polisi Republik Indonesia (Polri).
Namun kedua lembaga negara itu tak kunjung memperlihatkan hasil penyelidikan, hingga kemudian predator koruptor KPK juga ikut terlibat. Dan hasilnya, KPK menetapkan tersangka pertama untuk kasus e-KTP pada 22 April 2014, yakni eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sugiharto.
Setelah itu, KPK mulai menyisir masuk ke gedung parlemen dan menemukan catatan yang mencengangkan sebab Ketua DPR, Setya Novanto diduga terlibat kala itu. Sebelumnya, mantan Bendahara DPP Partai Demokrat yang kini telah jadi tahanan di Sukamiskin itu pernah menyebut nama Setnov sebanyak dua kali dalam persidangan pada 2013 lalu.
Setnov sendiri bukanlah nama baru yang diisukan masuk dalam lingkaran korupsi, sebab politisi asal Bandung Jawa Barat itu juga pernah beberapa kali disebut dalam berbagai kasus. Diantaranya adalah kasus Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012, kasus suap di Mahkamah Konstitusi (MK) pada kasus Akil Mochtar, kasus korupsi pengalihan piutang (cassie) Bank Bali 1999, dan kasus penyelundupan 60 ribu ton beras Vietnam 2013.
Penetapan tersangka terhadap Setnov sendiri bisa jadi akan berdampak secara politik, baik pada Pemilihan Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 mendatang. Prediksi saya, penetapan tersangka oleh Setnov tersebut bisa jadi akan menggoyahkan Istana. Pasalnya, Partai Golkar yang dibawahi oleh Setnov merupakan salah satu partai penyokong pemerintah di parlemen.
Meski penetapan tersangka tersebut masih bisa diupayakan untuk dilakukan pemutihan dengan mengajukan praperadilan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Komjen Budi Gunawan ketika ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK Januari 2015 lalu. Celah ini bisa saja dilakukan oleh pihak Partai Golkar maupun partai koalisi pemerintah untuk melakukan perlawanan jika ingin tetap aman sokongan Golkar di parlemen.
Dampak lainnya adalah akan mengganggu konsentrasi Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid dalam menatap Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel 2018 mendatang. Meskipun, dari informasi yang beredar dikalangan internal Nurdin Halid telah mendapatkan Surat Rekomendasi (SK) usungan hingga berkas lainnya untuk mendaftar pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah ditandatangani oleh Setnov.
Bahkan, ada isu yang berkembang jika Nurdin Halid tidak akan maju pada Pilgub Sulsel mendatang. Alasanya adalah akan menggantikan peran sentral Setnov sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya kira alasan ini cukup rasional, sebab memang Nurdin Halid saat ini sudah masuk dalam jajaran tokoh nasional.
Selain itu, hal itu akan menjadi sejarah sendiri bagi Nurdin Halid, dimana akan menjadi orang Sulsel kedua yang mampu menjadi orang nomor satu di partai beringin itu setelah didahului oleh wakil presiden Jusuf Kalla. Tentunya, prestasi yang prestisius itu akan menjadi menggiurkan bagi Nurdin Halid. Dan sudah tentu akan menjadi jualan sebagai calon Wakil Presiden pengganti Jusuf Kalla yang merupakan representasi dari Timur Indonesia.