Sebuah cuitan di laman media sosial burung biru berhasil menyita perhatian . Kurang lebih, subjek yang dibawa adalah dimana sebuah keluhan saat negara dan (beberapa) Menteri yang baru getol menyuarakan isu radikalisme alih alih membahas bagaimana seharusnya rencana ekonomi kedepan.
Apakah radikalisme menjadi satu pekerjaan rumah Indonesia yang tak kunjung habisnya sehingga secara langsung (masih) bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam negeri atau bahkan dirasa akan menghambat?
Atau bahkan sampai aturan berbusana, bahwa bercadar menjadi satu perihal penting yang kudu penting banget jadi sebuah polemik yang membuat orang selevel Menteri Agama Fachrul Razi jadi sedikit gagap dengan mengatakan bahwa aturan menggunakan cadar tidak ada dasarnya baik di Al Quran dan Al Hadist.
Bahkan lebih jauh lagi, beliau mengatakan bahwa aturan tersebut juga terkait dengan isu keamanan setelah peristiwa penusukan mantan MenkoPolkam Wiranto.
Dua hal terkait diatas, bukan lagi menjadi justifikasi, lebih kepada teori pembenaran. Karena jelas, ga perlu jadi selevel Beliau pun kita bisa sama sama belajar bahwa memang ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama dan juga mewakili Mazhab, tapi bukan berarti hal itu tidak ada.
Yang kedua di teori pembenaran nya, di insiden Wiranto, yang terjadi adalah sesuatu yang aneh. Bahkan pelaku pun bisa berdiri lenggang disana, tidak bercadar, dan bahkan BIN sebelumnya telah mengatakan bahwa pelaku sudah masuk pemantauan selama 3 bulan sebelum terjadi insiden.
Kalau ini kejadiannya, secara sinikal seharusnya Menag semestinya lebih waspada ke pihak BIN ketimbang ke para pemakai cadar atau isu radikalisme sendiri.
Lha jare sudah dipantau ya masih dibiarkan gitu kok?
Justifikasi dan legitimasi akan lebih elegan apabila sekedar mengembalikan pada tata tertib penggunaan seragam dikalangan PNS. Sesimpel itu, jangan dibuat ribet yang anda nanti kewalahan sendiri menjawabnya, Pak Menteri .
Isu Radikalisme sendiri bukan lah tidak ada. Tapi akan semakin besar apabila hal seperti ini tidak bisa disikapi dengan baik. Seperti melihat satu ketergesaan didalam menjawab pertanyaan sehingga malah sekenanya saja.
Sekali dua kali mah lucu. Diterusin ya kayak srimulatan : Adalah Hil Yang Mustahal.