Negara dalam keadaan genting.
Aksi penolakan oleh aktivis pro demokrasi yang turut di warnai dengan penculikan, penghilangan paksa , penganiayaan serta dugaan pembunuhan pun menjadi salah satu kejadian historis yang hingga kini masih terus dicari kebenaran versinya oleh tim yang dibentuk khusus untuk penanganan ini.
Tahun 1997. Gelombang penolakan anti Orde Baru dan Soeharto pun marak. Para aktivis dan masyarakat pada umumnya menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Krisis Moneter pun menghantam Asia, sebagai satu upaya untuk 'melemahkan Asia secara keseluruhan, dan Indonesia yang pada saat itu mulai terlihat 'galak' sebagai Macan Asia. Dan puncaknya, pada 15 Januari 1998.
Seseorang, yang dikenal sebagai seorang politikus, negarawan ulung dan juga diktaktor. Soeharto, menunjukkan satu gestur dan bahasa tubuh yang sangat tidak biasa untuk seseorang sepiawai dirinya. Membungkuk didepan Michael Camdessus, Soeharto menandatangani sebuah surat "hutang" kepada International Monetary Fund untuk mengembalikan Indonesia pada kondisi normat setelah jatuh akibat krisis moneter. Saya pada saat itu mengamatinya sebagai satu penyerahan kekuasaan dan kedaulatan : penjajahan atas Indonesia dalam satu bentuk yang baru. Penjajahan ekonomi.
Noval Al Katiri. Seorang pemuda yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Bersama dengan Ismail, keduanya ikut diculik bersama dengan target operasi yang sebenarnya , Dedi Hamdun. Sampai dengan saat ini, 13 orang korban penculikan baik dari kalangan aktivis maupun warga biasa itu tidak pernah ditemukan.
Dari 23 yang diketahui, 9 diantaranya dipulangkan setelah mereka pun mengaku telah disiksa selama penculikan dan penyekapan, sementara Leonardus Gilang yang juga menjadi bagian dari penculikan ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Tim Mawar dan Danjen Kopassus pada saat itu, Prabowo Subianto diduga sebagai 'dalang' dari aksi penculikan tersebut dan beserta dengan jajarannya pun dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer.
Meski demikian, Panitia Khusus Penghilangan dan Pembunuhan Orang Secara Paksa pun masih melakukan penyelidikan sampai dengan hari ini. Tanggung jawab kasus hanya kepada Tim Mawar dan juga Let Jend TNI Purn Prabowo Subianto pun masih banyak menimbulkan pertanyaan. Masih banyak pihak lain yan terlibat, tentu dengan arahan dari Panglima Tertinggi pada waktu itu, Presiden Soeharto dan juga Pangab Jend TNI Purn Wiranto dan juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada saat itu masih menjabat sebagai Assosspol Kassosspol ABRI.
Mei 1998. Kerusuhan pun pecah di Jakarta. Negara benar benar dalam kondisi kaos. Presiden Soeharto dipaksa turun dan digantikan oleh Wakil Presiden pada saat itu Ing. B.J Habibie. yang ditandai oleh peristiwa tragedi Trisakti.Pada saat itu pun kerusuhan yang terlihat sangat sistematis pun berjalan. Pembakaran, aksi penghancuran kota dan juga tindak kekerasan dan bahkan pemerkosaan pada warga etnis cina pun terjadi.
Wiranto yang menjabat sebagai Pangab pada waktu itu tidak seharusnya meninggalkan kota dan menuju ke Malang, hal yang sampai dengan saat ini diindikasikan sebagai upaya untuk "menyingkirkan" Prabowo Subianto yang pada saat itu menjabat sebagai Pangkostrad.
Dua versi cerita pun beredar. Didalam buku yang ditulisnya, Mantan Presiden B.J Habibie pun menyebutkan "arahan" dari Panglima Abri Wiranto bahwa Pangkostrad, atau Prabowo Subianto lah yang berada dibalik kerusuhan ini. Bahkan Jend Purn Wiranto memberikan masukan kepada Mantan Presiden B.J Habibie yang pada saat itu sedang mempersiapkan Kabinet Barunya ( Kabinet Reformasi), bahwa ada indikasi "pasukan liar " yang dibawa oleh Pangkostrad memasuki Ibukota Jakarta sebagai upaya kudeta atas Pemerintahan Presiden Habibie yang memang bukan berasal dan mempunyai kekuatan militer sendiri.
Padahal seorang Prabowo Subianto pada saat itu yang bahkan sebelumnya telah berulang kali meninta pada atasannya, Jendral Purn Wiranto untuk tidak meninggalkan Jakarta yang saat itu dalam keadaan genting sejatinya memang sengaja mencharter pesawat Mandala untuk mengangkut bala bantuan Kostrad menuju DKI dengan menggunakan dana pribadinya akibat tidak diberikan ijin oleh Wiranto untuk menggunakan pesawat Hercules Milik TNI. Hal yang terungkap setelah itu dari kesaksian seorang bernama Mayor Jendral Kivlan Zen didalam bukunya yang berjudul Konflik dan Integrasi TNI- AD