Lihat ke Halaman Asli

Baskoro Endrawan

TERVERIFIKASI

Keterangan apa ?

Dolly: Antara Realita, Fiksi, dan Stigma

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tampaknya Tante Dolly tidak akan pernah merasa habis pikir dari dalam liang kuburnya.

Berbekal teknik dan pengertian akan permintaan spesifik manusia, khususnya lelaki, dia memulai bisnis yang  konon usianya sama tuanya dengan dunia ini. Prostitusi, bisnis lendir, kenikmatan sesaat.

Apapun dan bagaimanapun cara memandangnya, transaksi tersebut berujung pada satu hal : uang.

Hari ini, 18 Juni 2014 kawasan prostitusi yang menampung kurang lebih 1.080 pekerja seks komersial , 300 mucikari dan masih ratusan lainnya yang menggantungkan nasibnya pada usaha yang dirintis oleh Tante Dolly ini resmi ditutup.  Adalah Ibu Risma, Walikota Surabaya yang dulu lebih dikenal dengan Kota Pahlawan lah yang berani melakukan perubahan ini. Bukan para jagoan yang mengaku sebagai lelaki. Namun seorang Ibu. Sisi kontroversial, penentangan  intimidasi dan lain hal pun turut menjadi bagian dari satu catatan yang layak masuk sebagai prestasi dalam sejarah ini.

Banyak pihak yang menyayangkan.

Dengan pendapat bahwa adalah tepat untuk tetap melokalisasikan para pekerja seks komersial ini sehingga mereka pada akhirnya tidak justru berkeliaran kemana mana dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi. Lokalisasi adalah suatu kontrol sosial yang baik, akan adanya demand dan pasar.  Sesuatu yang 'terlihat sebagai pendapat yang benar' namun malah yang timbul adalah salah kaprah berbentuk stigma.

Kota Surabaya tak lagi perlu Dolly. Itu kenyataan 'pahit' sebenarnya. Layanan 'antar kamar' prostitusi sebetulnya marak terjadi dimana mana. Memanfaatkan kamar kos, promosi dari mulut ke mulut dari para bell boy hotel , jalanan , dan tempat hiburan malam. Mulai dari losmen kelas teri sampai dengan sebuah hotel bintang lima di bilangan Jalan MayJend Sungkono pun secara 'tak resmi' melakukannya.

Di hotel kelas teri, para pekerja seks komersial ini akan menjajakan langsung, atau lewat pihak perantara. Di jalanan seputar Tunjungan ?Secara langsung dan juga memanfaatkan jasa tukang ojek sebagai penunjang mobilitas. Klub dan hiburan malam ?Para pekerja disana pun yang mempromosikan diri mereka. Hotel hotel kelas menengah?Mereka punya ujung tombak bernama security ataupun bell boy.

Atau bagi yang sedikit mentereng, dapat menghubungi para concierge hotel sendiri. Tak jarang bahkan beberapa mucikari pun secara aktif turut menawarkan disana kepada para tamu hotel.  Dan hei, tak hanya wanita yang dijajakan oleh mereka, namun juga pria 'muda muda ,ramah dan tampan'.  Setidaknya minimal pengalaman itulah yang pernah didapat oleh penulis.

Seorang mucikari berusaha menawarkan gadis gadis yang berada 'dibawah' mereka. Saat penolakan secara halus dilakukan oleh penulis ? Tawaran untuk pria muda pun dilakukan.  Melihat dari cara menawarkan dan bahasa tubuh secara yakin  dan persistensi yang dilakukan oleh mucikari tersebut, saya yakin bahwa 'penawaran' tersebut bukan pertama kali dilakukannya. Dan cara menawarkan satu 'komoditas' dan beralih yang ke lainnya tanpa rasa sungkan atau bahkan tabu seperti halnya umumnya manusia timur hanya menjatuhkan pada satu kesimpulan :

Bahwa pasar memang ada di sana. Apapun preferensi anda. Apapun imainasi terliar seseorang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline