Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah dari Negara China

Diperbarui: 4 November 2015   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption= Ilustrasi "Foto: Basirun"][/caption]

Tatkala Mao Zedong menjadi pemimpin China pada tahun 1958-1962 M terjadi orientasi kebijakan yang sangat ekstrim. Mao Zedong ingin melakukan revolusi besar-besaran dengan lompatan jauh ke depan yaitu ingin mengubah China menjadi  daerah tungku peleburan besar demi meningkatkan produksi baja. Lahan-lahan pertanian banyak yang di rusak, begitu pula berhektar-hektar  hutan di babat sehingga suasana di wilayah pedesaan Zhangjiashu menjadi sangat tandus.   

Suasana begitu panas dan ketersediaan air semakin berkurang sehingga untuk menyeduh teh saja harus mgnggunakan air salju yang telah disimpan beberapa bulan yang lalu. Penduduk desa Zhangjiasu rata-rata beragama  Islam, air untuk kebutuhan  wudhunya jarang terpenuhi.

Padahal untuk malakukan Sholat harus memulainya dengan wudhu dan pasti menbutuhkan air yang tidak sedikit. Bersyukur saja islam merupakan ajaran yang tidak memberatkan Ummatnya agar bisa menjalani sholat maka  bisa dilakukan dengan tayammum.

Didesa Zhangjiasu tinggallah sepasang suami istri “Bai juhua (16) dan Ma Dhongji (23)  perkawinan mereka boleh dibilang terpaksa karena atas dorongan ibu dan bibinya. Di daerah ini juga terkena dampak dari pengrusakan alam sehingga tanah Ma Dhongji hanya tertinggal  8 are dan 2 are  dipergunakan untuk membangun rumah  tempat tinggal sehingga sisa lahannya adalah  6 are. Dari pasangan ini terlahir tiga anak yaitu Ma Yan anak sulung bersama dua adiknya Ma Yichao dan Ma Yiting

Ma Yan terlahir 6 Maret 1998 di desa Zhangjiasu dan merupakan suku Hui. Dia besekolah di Yuwang salah satu kota pusat perdagangan di daereh tersebut dan berjarak 20 Km dari desa Zhangjiasu. Perjalanan kesekolah dia tempuh dengan berjalan kaki selama 4-5 jam dan melalui daerah yang bersemak  dan daerah yang berbukitan. Terkadang selama di perjalanan Ma Yan sering menemukan hewan-hewan yang berbahaya seperti ular.

Selain dengan menggunakan jalan kaki lokasi sekolahnya juga bisa di tempuh dengan menumpangi  traktor para petani yang berjalan kearah sana dengan membayar satu  yuan sekali jalan. Lagi-lagi Ma Yan tidak bisa memutuskan untuk menggunakan traktor karena dia hanya dibekali 2 yuan oleh ibunya untuk biaya hidup selama satu minggu.

Terlahir dalam keluarga yang miskin tidak mengurangi kegigihan  Ma Yan dalam bersekolah. Dia menjalani sekolah dengan  sunguh-sungguh , ketika di Asrama juga dia selalu mengulangi pelajaran apa yang pernah disampaikan oleh gurunya.  Dia ingin menunjukkan kepada teman-temannya yang lain walaupun dari keluarga tidak mampu tapi dia pasti bisa menyamai mereka dalam hal kepintara. Walaupun niat ini ketika tingkat satu dia gagal untuk membuktikannya.

Ketika orang tuanya tahu bahwa dia gagal membawa juara, dia langusng di marahi dan orang tuanya meminta dia untuk berhenti sekolah karena alas an orang tuanya sudah tidak mampu untuk membiayainya lagi karena hasil panen yang tidak membaik dan pekerjaan ayahnya juga yang belum kunjung menetap. Dan dalam tradisi di kampung ini kan sebagai seorang anak perempuan lebih baik membantu keluarga bekerja di sawah nanti biarkan saja adik laki-lakimu yang sekolah.

Ma Ya tidak bisa menerima apa yang dikatakan ibunya dan berujar “ walaupun kita berasal dari keluarga miskin, aku ingin mengenyam pendidikan. Aku tak peduli walau setiap hari harus berjalan sejauh 20 km kesekolah diantara jurang dan atau aku siap harus menahan lapar asalkan aku bisa sekolah. Ibu aku sangat tidak setuju kalau hanya keluarga laki-laki yang harus sekolah aku akan menentang kebiasaan itu karena menurutku itu tidak adil” . Ma Ya tetap berusaha untuk meyakinkan ibunya bahwa dia harus tetap bersekolah dan berjanji akan membawa kemenangan itu pulang.

Ma Yan menundukkan pandangan dan dalam hatinya terbisik kata sekolah adalah persemaian masa depan, peluang untuk memperoleh sesuatu yang lebih besar. Berhenti bersekolah berarti kehilangan peluang untuk keluar dari penderitaan. Aku harus melakukan sesuatu untuk menghindar dari garis nasib itu, apa saja, walau ibu harus mengosongkan uang jajananku aku harus tetap bersekolah!!!!!!.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline