Lihat ke Halaman Asli

Basir SH

Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Terhadap Putusan Suatu Perkara

Diperbarui: 11 Mei 2024   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam dinamika kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik di dalam masyarakat. Konflik yang terjadi seringkali tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Untuk dapat menyelesaikan konflik tersebut seringkali diperlukan adanya campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian secara obyektif, penyelesaian tersebut tentunya didasarkan kepada pedomanpedoman yang berlaku secara obyektif. Fungsi ini lazimnya dilaksanakan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaaan, penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik. Kewenangan tersebut dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh hakim.

Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta- fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.

Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut. Namun dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat membekas dalam batin para yastisinbel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.[1]

 

Landasan yuridis dan filosofis kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang mandiri dan bebas dari segala bentuk campur tangan dari luar, sebagaimana yang dikehendaki di dalam Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyeleggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu, hakim sebagai unsur inti dalam SDM yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakiman wajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009.

 

Pancasila dan UUD 1945 secara tekstual disebutkan sebagai landasan dasar kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, maka kajian tentang kebebasan hakim sebagai obyek material harus dipandang dan dimaknai dari sudut pandang filsafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dan UUD 1945 sebagai landasan yuridis konstitusionalnya. Jadi ketika dikaitkan dengan persepsi hakim Indonesia dalam memaknai kebebasan hakim saat menjalankan tugas pokok yang dikatakan adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kebebasan hakim adalah kebebasan dalam kontrol koridor Pancasila dan UUD 1945.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline