Pada akhirnya, makanan merupakan tradisi kita yang paling suci. Bukan tentang nutrisi dan kalori, namun tentang berbagi, kejujuran dan sebuah identitas_Louise Fresco
Sebuah artikel yang ditulis Pak Sumarjo Gatot Irianto pada kompas.com edisi 29 Agustus 2023 tentang Impor Beras: Mengapa Terus Terjadi?https://money.kompas.com/read/2023/08/29/125726926/impor-beras-mengapa-terus-terjadi benar-benar sangat menggugah saya sebagai salah satu orang yang gemar menelusuri berbagai isu terkait gastronomi. Tulisan beliau memberi inspirasi dan membuka cara pandang saya terkait hiruk pikuk dunia perberasan di negeri tercinta ini. Data yang beliau suguhkan juga seolah menjadi data pelengkap atas heran dan penasaran selama ini tentang dunia perberasan di Indonesia.
Saya lahir dari sebuah keluarga petani sederhana di sebuah desa yang berada di zona ceruk pegunungan Raung yang mengandalkan penghidupan kami dari tanaman palawija termasuk padi. Dalam tulisan saya di kompasiana sebelumnya juga beberapa mengulas tentang beras dan rentetan realitas sosial lainnya dari hasil refleksi saya baik saat ini atau dari memori ketika saya masih kecil dulu.
Kampung halaman yang berada ditengah-tengah bentangan persawahan yang sangat luas persis seperti sebuah pulau ditengah-tengah samudera luas. Saya selalu memperoleh suguhan matahari terbit dari menjulangnya gunung raung atau matahari terbenam disore harinya yang seolah ingin bersembuji dibalik sang semeru. Dahulu, kami jarang sekali membeli beras karena alam telah menyediakannya, jika harus membeli kami cukup membeli beras pada tetangga yang menjual simpanan berasnya karena butuh uang mendadak, kami pun hampir tidak menemukan beras dengan label tertentu.
Saat ini, hampir sepenuhnya saya tidak menemukan beras eceran seperti dahulu. Kalaupun ada tetangga yang menjual beras, mereka menjual beras simpanan dengan kantong yang sudah berlabel sebab mereka sudah tidak memiliki lahan untuk dikelola sebab hampir mayoritas tanah didesa saya sudah tergadai ke para konglomerat berduit. Saya sempat menelusuri "kenapa sawah-sawah mereka tergadai?" temuan saya menyebutkan bahwa ternyata mereka bosan menanam palawija lagi sebab selalu merugi, entah karena harga pupuk yang mahal dan langka, entah karena harga gabah yang murah sementara cost produksinya yang sangat mahal, sementara hama disatu sisi semakin tidak karuan.
Bagi sebagian besar penduduk yang menggantungkan hidupnya mengolah lahan, tentu kondisi tersebut menjadi pukulan telak sehingga untuk menutupi kebutuhan keseharian mereka, uang yang cepat diperoleh menjadi pilihan maka menggadaikan lahannya sebuah pilihan yang ternyata menjadi momentum bagi orang berduit untuk menguasainya karena mereka punya jejaring pasar gabah yakni pabrik beras yang siap menampung berapapun dan kapanpun, bahkan tak jarang support modal mengalir. Mereka yang lahannya tergadai akhirnya memilih menjadi buruh dikota-kota besar untuk menutupi kebutuhan kesehariannya.
Keadaan tersebut tentu membuat saya gelisah namun tidak bisa berbuat banyak untuk merubah keadaan. Sempat terbesit dibenak, "bagaimana jika saya yang ambil gadainya dan biar pemilik tanah yang menggarap agar mereka bisa mengerjakan sawahnya kembali sehingga penghidupan mereka kembali lagi sembari menabung sedikit demi sedikit dari keuntungan bertaninya untuk menebus lahannya. Namun keterbatasan saya menjadikan ide itu tidak maksimal dilakukan.
Ketika pandemic covid terjadi, waktu saya lebih banyak berada dikampung halaman. Maklum pekerjaan bisa dilakukan dari rumah, maka saya memilih tinggal di kampung halaman. Kala itu sempat mencuat isu di masyarakat bahwa beras akan mengalami kelangkaan dan harganya akan tembus 50ribu per/kg. Kepanikan benar-benar terjadi ketika itu.
Saya juga berinisiatif mengubah pola makan saya dan keluarga dengan mengganti dari beras ke makanan yang lain seperti jagung, singkong, kentang dan bahan pokok lainnya. Bahkan sampai saat ini kami pun masih melakukannya sehingga meski akhir-akhir ini harga beras terus naik, saya sekeluarga tidak terlalu khawatir karena kami telah terhabituasi dengan bahan makanan lainnya selain beras.
Kembali pada suguhan data dari artikel yang ditulis Pak Sumarjo, pengendalian harga beras nasional memang telah menggurita. Monopoli, proses rente dan tergiur akan keuntungan besar dari impor beras telah menjadi mindset pemerintah kita. Saya sedikit skeptis dengan kebijakan pangan yang digulirkan pemerintah dalam rangka untuk menciptakan Daulat pangan, seperti kebijakan food estate yang digulirkan dengan dana yang luar biasa gemuk, jika kebijakan importasi dengan mindset seperti yang diuraikan Pak Sumarjo, termasuk tidak ada pengaturan tegas yang berpihak pada orang banyak kepada pengusaha-pengusaha di sektor pangan.
Saya juga selalu heran, kenapa isu ketahanan pangan tidak digulirkan salah satunya dengan kembali pada bahan-bahan pokok lainnya yang begitu banyak ditemukan di negeri ini? Saya berfikir, apa jadinya jika pemerintah dari tingkat pusat sampai desa menggulirkan Gerakan dan kebijakan 3 hari makan selain beras. Bisa kita bayangkan sekian juta penduduk jika tidak bergantung sepenuhnya pada beras, sepertinya mimpi petani untuk Makmur akan terwujud.