Indonesia merupakan negara kedua di dunia yang memiliki garis pantai terpanjang dengan bentangan 99.093 kilometer, wajar jika pengarusutamaan sektor perikanan dan kelautan yang kaya dan melimpah menjadi salah satu sektor penting bagi peningkatan ekonomi Indonesia. Bahkan menurut Dahuri, sektor ini berpotensi menyumbangkan pemasukan Negara sekitar 100 milyar dolar per tahun. (Dahuri, 2009).
Analisis potensi diatas menjadi mentah jika dikaitkan dengan kelangkaan garam yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, ditambah lagi kebijakan impor garam dari Australia menjadi pilihan pemerintah untuk menutupi menipisnya stok garam nasional. Aneh memang jika mengamati fenomena tersebut dan dikorelasikan dengan luasnya wilayah laut dan pantai Indonesia. Fenomena kelangkaan dan meroketnya harga garam layaknya dua sisi koin yang saling berhubungan satu sama lain. Disatu sisi masyarakat kecil yang berprofesi sebagai penambak garam merasakan manisnya garam, namun disisi lain masyarakat juga menjerit akan harga yang jauh dari akal.
Hal utama penyebab kelangkaan garam akhir-akhir ini memang disebabkan oleh faktor cuaca yang tidak menentu, namun apakah kita terus-menerus harus menyalahkan alam atas kondisi tersebut tanpa merefleksikan hal lain yang patut kita fikirkan solusinya bersama-sama tanpa membebankan kesalahan pada pihak tertentu.
Menjadi kebiasaan kita selalu menganggap tidak penting hal-hal yang dianggap sepele - termasuk garam. Pertama, jika kita menengok kondisi petani garam diberbagai wilayah di Indonesia, sistem pengelolaan tambak garam mayoritas masih sangat teramat tradisional dan moderenisasi peralatan dan pengolahannya jauh dari istilah profesional. Kedua, tidak ada jaminan bagi petani garam untuk menggantungkan hasil produksinya untuk meningkatkan kesejahteraan sebab garam dianggap bukan kebutuhan primer dan belum patut dijadikan produk unggulan yang menjanjikan pundi-pundi penghasilan Negara. Terlihat jelas ketika harga garam meroket, petani garam begitu girang dan senang menikmati manisnya garam. Ketiga, kebijakan yang ada belum memberi jaminan bagi petani garam untuk meningkatkan produksinya. Keempat, belum adanya kesadaran kolektif semua pihak untuk menjaga dan memelihara lingkungan secara massif sehingga alibi menyalahkan kondisi cuaca selalu menguat.
Terkait pergaraman, sudah selayaknya kita bersama berhenti saling menyalahkan, terlebih menyalahkan alam yang selalu tidak bersahabat. Perlunya kesadaran kolektif untuk saling membenahi, sikap gotong royong dan saling tolong menolong menjadi faktor utama membangun kesadaran sehingga memperoleh solusi solutif berupa saling memberdayakan, baik petani, masyarakat luas, sektor industry, dan pemerintah sehingga dikemudian hari kita tidak tergantung kepada pihak luar dan tentu menjadikan cuaca dan alam bukan sebagai hambatan tapi berkah yang patut dijaga, dilestarikan dan disyukuri bersama-sama. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H