Proses pembuktian merupakan titik sentral dalam suatu pemeriksaan perkara di pengadilan. Dalam tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara dan perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya seseorang (terdakwa) terhadap suatu perkara (pidana) yang sedang diperiksa. Melalui proses pembuktian ini hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan suatu putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.
Dalam mencari kebenaran materiil pada proses pemeriksaan perkara pidana, pembuktian merupakan bagian hal terpenting. Hukum (acara) pidana di Indonesia telah mengatur bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ini berarti bahwa hakim dalam perkara pidana akan menjatuhkan putusan berdasarkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga hakim tersebut memperoleh keyakinan atas terjadinya tindak pidana beserta pelakunya.
Demikian pula dalam perundang-undangan (hukum acara pidana) telah diatur ketentuan tentang alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Sehingga dengan demikian hanya berdasarkan alat bukti sebagaimana yang telah disebutkan itulah seorang hakim akan memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang dalam perkara pidana.
Sosok Saka Tatal sebagai mangtan terpidana dalam kasus Vina Cirebon yang merasa dan meyakini dirinya tidak bersalah dalam kasus tersebut terus berupaya mencari keadilan dalam pengungkapan kasus yang sebenarnya. Upaya hukum berupa banding, kasasi sampai dengan grasi telah dilakukan namun semuanya belum berpihak terhadap dirinya. Meskipun yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana sesuai dengan putusan pengadilan dan saat ini telah keluar dari penjara, namun yang bersangkutan tidak menyerah dan berputus asa dalam memperjuangkan keyakinan tidak bersalah tersebut. Melalui kuasa hukumnya permohonan Peninjauan Kembali (PK) juga telah diajukan dan pada saat sekarang masih dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Agung.
Seusai menjalani sidang pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Cirebon beberapa waktu yang lalu, pada tanggal 9/8/2024 bertempat di Padepokan Agung Amparan Jati Kabupaten Cirebon Saka Tatal pun telah melakukan ritual sumpah pocong. Yang bersangkutan melakukan prosesi ritual sumpah pocong dengan mengenakan atribut layaknya jenazah yang dibungkus dengan menggunakan kain kafan setelah sebelumnya dimandikan layaknya dalam pengurusan jenazah. Dengan bimbingan dan tuntunan dari pimpinan Padepokan Agung Amparan Jati Kabupaten Cirebon tersebut yaitu Raden Gilap Sugiono pada intinya Saka Tatal mengucapkan sumpah bahwa dirinya tidak melakukan pembunuhan atau perkosaan terhadap korban kasus Vina Cirebon.
Sebelumnya Saka Tatal sendiri telah mengetahui dan menyadari serta meyakini akibat sumpah (pocong) yang dilakukannya tersebut apabila kemudian tidak benar. Dirinya hanya menginginkan masyarakat mengetahui bahwa Saka Tatal bukan pelaku pembunuhan dalam kasus Vina Cirebon tersebut. Kubu Saka Tatal sendiri berharap dengan dilakukannya sumpah pocong ini bisa mengungkap kebenaran dan membuktikan apakah Rudiana (orang tua salah satu korban) terlibat dalam rekayasa kasus Vina Cirebon ini.
Sumpah pocong yang telah dilakukan Saka Tatal ini merupakan respon atas ucapan Rudiana beberapa waktu sebelumnya. Setelah beberapa lama sosok Rudiana tidak pernah lagi muncul ke publik sejak mencuatnya kasus Vina Cirebon, demikian pula pada persidangan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pihak Saka Tatal di Pengadilan Negeri Cirebon sangat diharapkan kemunculan Rudiana untuk membuat terang permasalahan. Namun sampai dengan selesainya proses pemeriksaan tersebut Rudiana tidak pernah menampakkan batang hidungnya, hingga tiba-tiba dalam suatu konferensi pers bersama Pengacara papan atas Hotman Paris Hutapea (kuasa hukum keluarga Vina) yang bersangkutan menyatakan siap apabila harus melakukan sumpah pocong.
Sumpah pocong sendiri merupakan salah satu bentuk tradisi yang ada pada sebagian masyarakat dalam memutuskan suatu permasalahan atau sengketa. Sumpah pocong ini cukup ditakuti karena dalam sumpah tersebut (orang yang melakukan sumpah) meminta kepada Allah Swt agar menimpakan azab atau laknat atas dirinya apabila sumpah yang diucapkan tersebut tidak benar. Sehingga masih banyak masyarakat (demikian pula masyarakat Cirebon) yang meyakini sumpah pocong akan membawa dampak langsung terhadap pihak yang mengucapkannya.
Namun demikian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat dan beberapa tokoh ulama (agama Islam) sendiri menyebut sumpah pocong bukan merupakan bagian dari ajaran agama Islam melainkan suatu bentuk tradisi yang umumnya dilakukan oleh pemeluk agama Islam. Mereka berpendapat bahwa sumpah yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan antara para pihak dikenal dengan istilah Mubahalah dan itupun hanya dapat dilakukan apabila masalah tersebut sangat urgen yang dapat membahayakan aqidah serta ukhuwwah Islamiyah. Bukan setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dapat diselesaikan dengan sumpah tersebut.
Sementara itu dalam hukum acara (perdata) memberikan ketentuan bahwa pihak yang telah mengakui memiliki hak atau membantah adanya hak tersebut harus membuktikan sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam HIR/Rbg. Diatur pula adanya alat bukti yang dapat digunakan para pihak yang berperkara antara lain berupa surat-surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/284 Rbg. Hal yang demikian ini berbeda dengan hukum (acara) pidana yang tidak mengenal sumpah sebagai alat bukti.
Salah satu bentuk sumpah yang dikenal dalam hukum perdata adalah sumpah pemutus (decissoire) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 156 HIR/183 Rbg yang pada pokoknya menyatakan bahwa apabila tidak keterangan yang dapat menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan tersebut, maka salah satu pihak dapat meminta agar pihak lain bersumpah di hadapan majelis hakim. Sumpah ini harus berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang diminta sumpah. Namun jika perbuatan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak, maka pihak yang diminta sumpah namun menyatakan tidak bersedia melakukannya sumpah tersebut dapat dikembalikan kepada pihak lawan. Jika pihak lawan yang diminta bersumpah kemudian tidak bersedia maka pihak yang tidak bersedia bersumpah akan dikalahkan dalam perkara tersebut.