Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Aliem

ASN di Badan Pusat Statistik.

Tukang Sensus

Diperbarui: 29 September 2018   07:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap kali merilis angka kemiskinan di Indonesia, seketika itu nama Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi ramai diperbincangkan. Angka kemiskinan selalu menjadi polemik. Nama BPS dibawa-bawa karena sebagai Lembaga yang menghitung angka kemiskinan. Namun, masih sering ditemui orang yang tidak tahu-menahu tentang BPS.

Masyarakat lebih mengenal petugas lapangan BPS dengan sebutan tukang sensus. Tukang survei. Atau dengan sebutan lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sebutan "BPS". Salah satu dampaknya adalah munculnya pertanyaan di setiap rilis data BPS. Baik itu tentang angka kemiskinan, data ketenagakerjaan (pengangguran), pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan data strategis lainnya. Biasanya netizen bertanya, data kemiskinan itu dari mana? Yang didata siapa? Kok ujug-ujug muncul data kemiskinan.

Angka yang dirilis oleh BPS adalah hasil survei atau sensus. Bukan angka yang langsung jadi. Prosesnya panjang hingga pada tahap rilis. Angka yang dirilis itu adalah kumpulan informasi dari masyarakat Indonesia yang terpilih menjadi responden. Tentunya sesuai dengan kaidah ilmu statistik.

Sebenarnya masih banyak tantangan terhadap proses pengumpulan data. Penolakan dari responden masih sering terjadi. Selama ini para petugas lapangan menyiasati dengan melakukan pendekatan secara persuasif. Terkadang masih ada yang betul-betul tidak mau didata. Padahal data mereka dijamin kerahasiaannya dan dilindungi oleh undang-undang no.16 tahun 1997 tentang statistik.

Penolakan responden bisa diminimalisir dengan menguatkan aturan hukum. Misalnya dengan menerapkan sanksi terhadap pihak yang menolak didata berdasarkan undang-undang statistik.

Heboh angka kemiskinan di zaman hoax seperti saat ini adalah tantangan memasyarakatkan data. Patut diakui jika ilmu statistik tidak sesederhana pikiran kita. Memaknai data statistik mesti dilakukan dengan telaah akademik secara mendalam.

Ada pihak yang sengaja menyebarkan hoaks seperti yang ramai diperbincangkan. Yang angka penghasilan RP11 ribu per hari tidak miskin. Sudah jelas meme di dunia maya ini adalah hoaks. Angka garis kemiskinan tidak sesederhana itu dengan langsung membaginya dalam hitungan per hari. Tidak begitu.

Standar kemiskinan selalu berubah tiap periode. Maret dan September setiap tahunnya selalu berbeda. Angka itu berubah sesuai hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas). Mengikuti pola konsumsi penduduk. Dan tentu saja berdasarkan harga komoditi terbaru yang berlaku di wilayah pengumpulan data.

Ada hal yang lebih penting untuk dibahas selain angka kemiskinan. Dimana hal ini sudah mencakup data kemiskinan di dalamnya. Yakni rencana program satu data Indonesia. Menyamakan persepsi akan konsep beberapa data yang dimiliki oleh lembaga negara dan instansi pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa saat ini data belum seragam. Masih terdapat perbedaan data yang dimiliki lembaga-lembaga pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah adanya perbedaan metodologi. Lalu, data yang mana yang akan dijadikan patokan? ini cukup riskan mengingat perbedaan data akan menyulitkan pengambilan keputusan pemerintah.

Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa data yang diakui hanya data BPS. Namun hal ini harus ditindaklanjuti dengan penguatan Undang-Undang Statistik. Dimana independensi BPS perlu dijaga betul. Dan yang terpenting adalah adanya jaminan kepastian hukum sehingga tidak terjadi lagi penolakan responden terhadap pengumpulan data.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline