Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Aliem

ASN di Badan Pusat Statistik.

Takbir Melangit

Diperbarui: 14 Juni 2018   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aroma syawal sudah melangit, kawan-kawan." Ucap Rahing dengan sangat yakin di lingkaran buka puasa di masjid.

"Sepertinya kamu benar, Rahing. Ini buka puasa terakhir di bulan puasa tahun ini. Sidang isbat di tipi segera berlangsung. Katanya, hilal pertanda Syawal sudah terlihat di banyak tempat."Jawab Bayu dengan mantab.

"Yoi, Bay. So, nikmati es pallu butung itu. Tambahkan sirup pisang ambon kalau kurang manis."

Attar, Rahing, Bayu, dan Candra menandaskan takjil berupa es pallu butung disirami sirup tiga huruf yang katanya hanya diproduksi di salah satu pabrik di Gowa itu.

Lepas itu mereka berwudhu, lalu khusyuk dalam salat tiga rakaat di belakang imam. Berjemaah di masjid yang tampak lengang.

Luas sekali masjid itu. Saf-safnya mengalami kemajuan. Saking majunya, hanya tersisa dua saf jemaah laki-laki berdiri mantab mengikuti gerakan imam.

"Rahing, Saya masih heran, bagaimana kamu bisa mengetahui aroma akhir bulan puasa?"

Mereka berempat melangkah menuju rumah masing-masing. Berhenti sejenak lalu bercakap-cakap di bawah pohon mangga.

"Gampang, Bay. Coba tutup mata. Kembangkan hidungmu. Lalu cium aroma opor ayam, coto, konro, dan segala macam aroma masakan khas Idulfitri. Hehehe."

Rahing terkekeh. Keempatnya tertawa lepas. Perut mereka sudah keroncongan. Aroma masakan tercium lepas di langit desa. Mereka berjanji bertemu kembali di masjid saat salat isya.

Azan isya menyeruak. Keempat anak remaja itu kembali berkumpul di masjid. Keempatnya terlihat senang, gembira. Raut wajah itu pertanda bahwa perut sudah terisi. Kenyang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline