Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Aliem

ASN di Badan Pusat Statistik.

Belati Penuh Darah di Tengah Alunan Musik Dangdut

Diperbarui: 27 Agustus 2017   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi buta dengan aroma alam mengandung kesejukan. Mata masih meraba dunia dan kaki menjejaki jalan setapak penuh embun. Suasana pagi sudah ramai, belum lagi gerombolan emak-emak yang berjalan menuju satu tempat. Mereka dilengkapi senjata tajam di genggaman tangan kanannya. Terasah, tajam, dan menakutkan pandangan mata. Pagi yang sangat mencekam. Kemungkinan terjadinya pertumpahan darah sangat besar. Bisa saja mereka pulang hanya tinggal nama. . Di ujung jalan setapak, di bawah rindang pohon mangga, diwarnai semerbak bunga di halaman rumah. Rombongan emak-emak tadi berhenti. Mereka berhimpun, berdiskusi, menyusun strategi untuk memenangkan pertarungan. 

Wajah-wajah tegang, mata membelalak, tak ada senyum sedikit pun terbersit dari mulut mereka. Sesekali Lirikan mata mereka tertuju pada pintu belakang sebuah rumah. Di sana, telah duduk rapi, melingkar kumpulan emak-emak lainnya. Sandal tersusun rapi di ujung teras belakang rumah. Dari jumlah sandal, bisa diketahui jumlah mereka. . Di ujung diskusi, seorang emak yang disinyalir pemimpin mereka- memberi perintah-untuk maju. Walau tak berbaris rapi seperti serdadu, tapi langkah mereka sangat menakutkan. 

Mereka melewati pohon rambutan yang sudah tercemar darah. Cukup banyak, masih hangat, kemungkinan kejadian baru saja terjadi. Ceceran berwarna merah itu terlihat hingga ke pintu belakang. Dan bermuara di lingkaran emak-emak di teras belakang rumah tadi. . Ketegangan pun terjadi. Kedua kelompok saling bertatapan dalam kesunyian. Tak ada saling sapa, keadaan mulai tak terkendali. Masing-masing telah menarik belati dari sarungnya. Pantulan cahaya terlihat dari belati yang sudah terhunus. Situasi semakin tidak terkendali. Akhirnya, kedua kelompok membentuk formasi lingkaran laiknya strategi perang di film laga. Hunusan belati serentak itu mengeluarkan suara yang memekikkan telinga. Akhirnya, terjadilah kejadian itu. Mereka menyayat daging yang masih mengeluarkan darah segar. Ada memotong kaki, lalu mengiris daging yang melekat pada tulang. Tak lama berselang, 

Mulut para emak berceloteh. Potong... Potong yang kecil! . Suasana sudah mulai ramai oleh suara cekikikan. Nama artis mulai disebut satu per satu.Laiknya acara gosip di televisi nasional. Huuffft, rupanya kedua kelompok ini sedang memotong daging sapi yang baru saja dipotong di dekat pohon rambutan. Darah yang berceceran tadi adalah darah sapi. Lingkaran para emak mulai bising. Tangan cekatan mengiris daging menjadi potongan kecil. . Bukan hanya barisan para emak, di dapur dadakan yang sengaja dibuat itu sudah dipenuhi oleh kaum lelaki bertubuh kekar. 

Rupanya ini adalah acara hajatan salah satu warga di kampung. Para lelaki telah bersiap memasak Coto Makassar, penganan khas dari bumi Anging Mammiri. Tak ada kaum hawa di dapur coto. Masakan Coto ala lelaki makassar di setiap hajatan. Di halaman rumah telah siap meja kayu berkaki bambu yang sengaja dirangkai khusus untuk acara hajatan. Tumpukan piring dan mangkuk berjejer rapi di atas meja. Racikan bumbu coto ala masakan lelaki makassar cukup pas di lidah. Perut saya jadi lapar, ayo makan Coto Makassar dulu. Selamat berakhir pekan. Barakallah. (*) . Gowa, 27 Agustus 2017 #basareng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline