Siang itu, Rahing memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur di depan televisi. Matanya dipaksa terpejam. Kambing dihitung dalam pikirannya. Satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga matanya mulai terlelap meninggalkan dunia. Rahing baru pulang dari sekolah siang itu, dia langsung beristirahat.
Saat dia terbangun, sebuah peta telah tergambar di bantal tidurnya. Hasil karyanya selama tidur siang, maklum ilernya lumayan tinggi produksinya. Rahing beranjak dari kasur, lalu menuju kamar mandi. dibasuh mukanya, kemudian berwudhu dan shalat ashar. Selepas itu, Rahing berjalan menuju lapangan sepakbola di dekat rumahnya. Sepatu bola ditenteng di tangan kanan. Dia berlari kecil, hitung-hitung pemanasan sebelum bermain bola.
Sinar memerah muncul di ufuk barat. Begitu indah senja di kala itu. Senja menjadi pertanda bagi Rahing untuk pulang ke rumah. Setelah makan malam dengan menu andalan Ikan Bolu (bandeng) pallu kacci (dimasak dengan bumbu kunyit dan asam),Rahing meninggalkan rumahnya kemudian melangkahkan kakinya menuju rumah kakeknya. Rumah kakeknya tak jauh, hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Malam itu, Rahing harus berjaga di kebun. Dia harus tidur di bale bambu beratapkan daun kelapa tanpa dinding. Pohon langsat telah berbuah. Rahing bertugas jaga malam di kebun untuk mengusir tupai, kelelawar dan hewan lainnya yang mengancam buah langsat dan buah lainnya yang tumbuh subur di kebun. Beralaskan bale bambu, Rahing pun mencoba merebahkan tubuhnya. Suara nyamuk dan kawan-kawannya mulai mengusik. Badan Rahing menjadi sasaran empuk. Akhirnya, Rahing membakar obat nyamuk lalu menaruhnya di bawah bale bambu.
Bukannya mengusir nyamuk, malah Rahing yang batuk terkena asap obat nyamuk. Saat keadaan kebun hening, tetiba suara menyela. Suara itu berasal dari pohon langsat tak jauh dari bale bambu. Dengan sigap Rahing menggoyangkan seutas tali yang telah terhubung dengan kaleng berisi batu di atas pohon langsat. Suara bising yang dihasilkan kaleng itu cukup ampuh mengusir hewan pemakan langsat.
Jangkrik pun melanjutkan nyanyiannya. Kodok mulai berpesta di selokan berisi penuh air. Daun bambu mengalunkan bunyi indah diterpa angin malam. Musik alam menguntai kenangan,memecah kesunyian. Rahing mengambil posisi, badannya dibungkus kain sarung. Tak tanggung-tanggung, dua helai sarung menutup rapat badannya. Memutus harapan gerombolan nyamuk lapar yang hendak memangsanya. Sesekali kakinya meraih tali pengusir tupai.
Tengah malam, dingin mulai menusuk tulang. Nyamuk dkk terus menyerang dengan beragam formasi. Namun Rahing tak bergeming. Mimpi telah membuai tidurnya. Pulau baru mulai terbentuk, lukisan alami yang dibuatnya di alam bawah sadar. Gelap malam sangat pekat. Awan hitam menutup cahaya rembulan. Bintang pun enggan menampakkan dirinya. Beberapa kali Rahing tersenyum manis. Entah mimpi apa dia. Mungkin karena melihat lembaran rupiah yang akan dikantonginya dari hasil penjualan langsat di dalam mimpinya. Entahlah.
Rahing hanya menjalani hidup, mengisinya dengan hal berguna. Pagi ke sekolah, Sore bermain, dan menjaga kebun di malam hari di musim panen langsat. Apapun dikerjakannya asal halal dan tentunya menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tak ada kata gengsi apalagi malu karena keterbatasan hidupnya. Rahing yakin, hidup memang arena perjuangan. Air mata dan darah mengiringi di setiap usaha bertahan hidup. Berjuanglah, atau hidup hanya menjadi benalu. Barakallah. (*)
Gowa, 19 Agustus 2017
#basareng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H