Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Aliem

ASN di Badan Pusat Statistik.

Menggugat dengan Dasar Keilmuan

Diperbarui: 12 Agustus 2017   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini, begitu banyak informasi yang menyesatkan dan memelintir data statistik. Beberapa orang mencoba untuk mengartikan angka statistik dengan interpretasi yang kurang tepat. Mereka menyandingkan data hasil survei, lalu menggunakan pandangan kasat mata untuk menilai lingkungan sekitar. Lalu membuat keputusan sepihak dan begitu mudahnya menyalahkan data hasil survei lapangan yang metodologinya sudah berstandar dan bisa dipertanggungjawabkan. Padahal secara kasat mata, suatu keadaan tidak bisa digeneralisir apalagi hanya mengangkat beberapa sampel yang "sengaja" dipilih "semau gue".

Ilmu statistik memang alat untuk mendekati sebuah kebenaran. Di dalamnya terdapat alpha. Ada nilai error. Dan yang terpenting untuk diketahui bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah semata.

Belum hilang dari ingatan ketika sebuah media online memuat berita dengan interpretasi yang tidak tepat atas sebuah data. Fatalnya lagi, data tersebut sudah kadaluarsa. Kalau makanan, sudah basi dan tidak layak konsumsi lagi. Anehnya, muncul komentar dari ribuan orang yang tak paham dengan ilmu statistik, teknik sampel, dan miskin pengetahuan tentang metodologi pendataan. Komentar yang penuh amarah, padahal tidak punya pemahaman keilmuan yang mumpuni. Seharusnya mereka mencari tahu asal usul informasi itu terlebih dahulu.

Kemarin, kejadian itu berulang. Seorang pejabat lagi-lagi terjebak dengan angka statistik. Lucunya lagi, beberapa alasan penolakan atas data BPS disandingkan dengan data sektoral. Data tersebut memang dipublikasikan oleh BPS, tapi sumber datanya tetap ditampilkan. Dan data bersumber dari skpd Pemda itu sendiri. Selebihnya, data yang disandingkan berbeda konsep dan definisi. Misalnya data penduduk, pendekatan de facto versus de jure. Tentu akan berbeda karena kondefnya bertolak belakang.

Banyak kejadian, seorang pemimpin daerah dengan gamblang menggunakan beberapa indikator statistik JIKA DATA ITU MENGUNTUNGKAN karir politiknya. TAPI jika ternyata data hasil survei BPS tidak mendukung, mereka beramai-ramai menyalahkan dan menggunakan data lain yang tidak jelas metodologinya. sungguh aneh bin ajaib.

Karena kejadian ini, saya menjadi setuju dengan hasil survei literasi yang menyatakan bahwa peringkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. Jarang membaca tapi rajin berkomentar. Bisa ditebak isi komentar yang "asbun" semata. Jika mengkritik, tolong beri solusi.

Namun tentu saja, semua kejadian itu justru dapat membuat masyarakat melek data. Dengan syarat, mereka mencari sumber data dan mempelajarinya terlebih dahulu. Sumbernya jelas, silakan cari di web resmi BPS (www.bps.go.id). Tidak sekedar berargumen tanpa dasar keilmuan apalagi dengan nuansa politik dan kepentingan pribadi. Selain itu, semua kritik bisa menjadi tolak ukur untuk mengevaluasi proses pengumpulan data dan menyempurnakan metodologi.

Hal ini menjadi tantangan bagi bps untuk memasyarakatkan data statistik. Data tidak bisa sembarangan disandingkan dan dikaitkan dengan variabel tertentu. Masing-masing data punya latar belakang tujuan pengumpulan. Yang terpenting, Pembangunan membutuhkan Data. Tanpa data akurat, pembangunan akan salah arah.

Data memang sulit dikumpulkan, Tapi jauh lebih sulit membangun tanpa data. Ayo melek data. Barakallah. (*)

Gowa Bersejarah, 12 Agustus 2017
#basareng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline