Nama saya Rahing. Saya anggota Rohis di SMA-ku. Soal mengaji, tak usah diragukan lagi. Artikulasi dan pitch kontrol dalam membacakan suatu ayat sudah lumayan sempurna. Sayangnya, setelah baligh, pita suaraku sedikit pecah. Makanya, suara yang dulu merdu hanya tinggal kenangan. Hehe.
Suatu pagi ketika saya sedang duduk santai di kelas, seorang teman mendatangiku. Dia meminta tolong agar saya mengaji di kelasnya. Surah-nya pun sudah ditentukan.
"Tolong Bro, baca(ki) dulu surah Yasin di kelasku. Hilang(i) hp-nya Bos(ka). Dua hp-nya hilang. Satu komunikator, satu lagi hp fl*xy."Katanya sedikit memelas.
"Kenapa harus mengaji bro? Cari(mi) saja dulu itu hp. "Jawabku memberi saran.
"Aiii. Justru karena ada yang dicurigai di kelas, makanya kami sudah tempel semua nama siswa di sebuah baskom. Nanti kamu mengaji sambil menggantung benang. Kalau sudah selesai, nama yang ditunjuk oleh benang adalah pelakunya."Jelasnya dengan nada bersemangat.
Saya bergegas menuju kelas yang berada di lantai satu. Kebetulan kelasku berada di lantai dua. Kelasnya berada di ujung gedung, dekat Laboratorium kimia. Dari kelas itu, saya bisa mencium aroma bakso dari kantin sekolah yang berada di belakang. Saya melangkah perlahan menuruni anak tangga. Tak pernah saya hitung berapa jumlahnya. Di bawah tangga tersebut, terdapat base camp anak Sispala. Kelas itu tepat di samping kanannya.
Tiba di pintu, mata saya memandangi sekeliling kelas. Semua siswa telah menunggu, terkhusus si empunya hp yang hp-nya raib entah ke mana. Saya mengambil posisi di depan baskom yang telah tertempel nama. Seorang teman memegang semacam tali benang yang katanya dapat bergerak menunjuk nama pelaku. Entah dari mana mereka temukan ritual ini.
Saya tidak mau pikir terlalu jauh. Saya membuka kitab suci, lalu membaca surah Yasin. Anehnya, sampai berkali-kali saya baca Yasin, tidak ada satu pun nama yang tertunjuk. Apa mungkin saya kurang khusyu'? Atau cara itu tidak mujarab? Entahlah. Saya menutup kitab suci, pamit dan melangkah kembali ke kelas. Si empunya hp menyalamiku dan berterima kasih walaupun tidak berhasil mengetahui pelaku. Saya berlari kecil menuju kelas, sedikit malu, heran dengan kegiatan yang baru saya lakukan.
Harga dua Hp yang hilang itu lumayan fantastis. Yang komunikator saja, harganya belasan juta rupiah waktu itu. Wuih, mahal juga. Nggak heran, pemiliknya adalah anak pejabat. Usahanya juga banyak.
Singkat cerita, setelah beberapa hari, pelakunya ketahuan. Dia adalah salah satu siswa di kelas itu. Kok bisa ketahuan? Bagaimana tidak ketahuan kalau si pelaku mentraktir beberapa temannya di sebuah diskotik. Curiga-lah teman-temannya. Dan akhirnya dia ketahuan.
Saya cukup senang dengan berita itu. Tentunya sedikit kecewa karena ritualnya tidak berhasil. Saya punya secuil penyesalan. Pasalnya saya masih ragu akan ritual yang dilakukan. Apa bedanya sama dukun? Kita saja yang mendatangi dukun, shalat kita tak diterima selama 40 hari. Apalagi kalau saya sendiri yang jadi dukun? Wadduh, bisa celaka. Lepas kejadian itu, saya mencari tahu tentang ritual tersebut. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi mengulangi ritual seperti itu walaupun dengan tujuan membantu orang lain. Saya Rahing. Bukan anak pejabat. Wallahu Alam Bissawab. Barakallah. (*)