Lihat ke Halaman Asli

Sejenak Memaknai Cinta di Kota Gudeg

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14286507341310870621

Bersama Kau, Tuhan, aku berjalan melewati lembah terendah hingga mendaki gunung yang tinggi. Aku menapak kakiku menempuh perjalanan panjang, dan aku merasa siap karena ada Kau!

Rabu (8/4) malam yang lalu, saya menuju Yogyakarta menumpang Kereta Api. Bagi saya, kali ini perjalanan yang “kurang menyenangkan”. Karena harus mengejar sampai subuh di Yogya, mengejar acara Stadium General mahasiswa MMTC. Saya diberi kesempatan sharing animasi Kamis pagi, selama dua jam. Setelah itu, saya langsung pulang jam 8 malam ke Bandung.

Dalam perjalanan pergi, tak lupa saya meminta dukungan doa kepada abang dan kaka saya. Bersyukur, punya mereka yang selalu mendukung dan mendorong saya. Lebih bersyukur lagi punya Tuhan yang dahsyat!

Malam itu, saya kurang beruntung, tak bisa tidur nyenyak. Karena di belakang kursi saya ada penumpang yang ngorok. Alhasil, saya sulit untuk mengusaha bisa tidur. Namun saya bersyukur sampai di Stasiun Tugu dengan selamat, sekitar pukul 3 subuh lebih sedikit.

Begitu turun dari kereta, saya langsung menawar taksi menuju Jl. Magelang. Sampai di kampus itu, saya rebahan sambil menutup mata sebentar.

Bangun pagi, saya dijemput Pak Charles, salah satu dosen yang menjadi panitia acara Stadium General tersebut. Kemudian saya bertemu rekan pembicara lainnya di mobil yang kami tumpangi menuju rumah makan untuk sarapan pagi.

Yogya, bagi saya, selalu menampilkan kemesraan relasi antar sesama. Tanpa ada rasa curiga. Mempersilahkan sekaligus memanjakan orang-orang baru yang datang. Tak sedikitpun saya merasa kuatir setiap kali berbicara dengan orang-orang yang baru saya kenal disana.

Saya jadi ingat, waktu naik taksi dari Tugu menuju MMTC. Ada percakapan ringan saya dengan sang supir, katanya, “Di Yogya ini pak, Sultan itu bijaksana sekali. Dia nggak kasih lho perusahaan-perusahaan besar bebas memonopoli bisnis disini. Sehingga, usaha-usaha kecil bisa tetap makan.” Dalam hati saya, “Ini yang namanya pemimpin! Bangsa ini beruntung punya salah satu putra terbaik seperti Sri Sultan, yang tak gila kekuasaan, memikirkan rakyatnya, dan anti poligami.”

Pagi, sekitar jam 8 lewat, saya sudah tiba di gedung. Saya liat satu-persatu anak-anak jurusan multimedia dan animasi yang datang. Tertegun, darah saya seperti ingin berteriak, “Inilah anak-anak muda yang akan meneruskan nasib bangsa ini!”

Setelah perkenalan singkat oleh Pak Charles, kemudian bagian saya. Kebetulan saya pembicara pertama. Ada sekitar 80 mahasiswa dan beberapa dosen yang hadir di ruangan itu.

Saya pun langsung beraksi! Sharing! Buka-bukaan soal peluang dan tantangan industri animasi. Tak tanggung-tanggung, saya pun bagikan soal model bisnis animasi. Saya sudah terlalu ‘lelah’ menyaksikan perusahaan-perusahaan besar itu memonopoli industri kreatif di dunia ini, bahkan tak segan mematikan studio-studio kecil dengan membelinya. Dan tidak lupa, saya kian alergi dengan tayangan-tayangan lokal. Saya bilang, “Cinta yang agung itu cinta Tuhan. Cinta sejati itu cinta ibu. Cinta yang tak pernah habis itu cinta Fitr*!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline