Oleh: Jum’an
Dalam lubuk hati saya sering terdengar suara berbisik: Sudahlah terima saja apa yang ada. Kamu sudah mentok. Tidak mungkin akan menembus batas. Saya duga bisikan itu merupakan jawaban terhadap penyesalan saya yang terus menerus: Jadi hanya segini saja, tidak ada apa-apa lagi? Sebuah rumah kecil dan mobil tua untuk belasan tahun mengasah otak dan puluhan tahun bekerja keras? Sungguh tidak seimbang. Tetangga saya hanya lulusan sanawiyah. Isterinya seperti bidadari, rumah dan tanahnya tersebar dimana-mana. Itulah salah satu sisi nasib saya apa boleh buat. Mungkin karena orang tua saya dulu hanya pedagang kitab kuning untuk santri-santri desa. Sehingga lebih dari cukuplah kalau anaknya dapat memiliki sebuah rumah dan mobil, meskipun kecil dan tua. Katakanlah saya memang tidak berbakat kaya.
Sukses memang bukan urusan kepandaian atau IQ semata-mata. Memang Bill Gates mempunyai IQ 160 sama geniusnya dengan Albert Einstein dan dia adalah pria terkaya didunia. Tentu IQ-nya merupakan andil yang besar. Tapi tidak demikian halnya dengan Chris Langan (58 th). Chris adalah genius autodidact dengan IQ luar biasa antara 195 - 210 dan dijuluki the smartest man of America. Ketika kuliah di Universtas Montana ia mengalami kesulitan keuangan dan karena merasa bahwa sebenarnya ia lebih pantas mengajar dosen-dosennya dari pada menjadi mahasiswa, iapun drop-out. Ia kemudian membuat strategi kehidupan ganda yaitu siang hari bekerja fisik mencari nafkah dan dimalam hari mengurung diri untuk mengolah rumus-rumus dikepalanya. Diantaranya dia mengembangkan teori tentang hubungan antara pandangan dan kenyataan yang terkenal dengan Cognitive Theoritic Model of the Universe (CTMU). Biaya hidupnya ia peroleh dengan bekerja sebagai buruh bangunan, cowboy, mantri hutan, pemadam kebakaran, buruh tani dan selama lebih dari 20 tahun sebagai bouncer atau tukang pukul ditempat hiburan di Long Island.
Berbeda pula kisah professor Irving Fisher yang banyak dikenal dikalangan mahasiswa dan para ekonom di Indonesia. Pakar ekonomi matematika ini sangking pandainya, yakin betul bahwa pasar saham saat itu (1929) akan tetap tinggi sepanjang tahun. Iapun menanamkan modal besar-besaran, tetapi berujung bangkrut karena tanpa disangka-sangka terjadi crash. Universitas tempat dia mengajar terpaksa membeli rumahnya dan menyewakan kepadanya agar dia tidak terlantar. Jera? Tidak. Ia tetap yakin bahwa dia benar dan meminjam uang dalam jumlah besar dari keluarga dan teman-temannya yang kaya dan menanamkannya sekali lagi dipasar saham. Dan sekali lagi bukannya untung tapi buntung-tung dan ludes-des.
Bill Gates sering mengakui bahwa disamping upaya dan kemampuan, adalah kemujuran (luck) yang menempatkannya sebagai orang terkaya didunia. Sedangkan Chris Langan, super IQ-nya tidak didukung oleh lingkungan sehingga ia terpaksa berjuang sendirian. Dan belum pernah ada didunia ini baik penyanyi, atlit, ilmuwan bahkan para jenius yang berhasil tanpa bantuan orang lain. Adapun professor Fisher adalah tamsil yang sempurna dari seorang yang karena kepandaiannya menjadi kelewat percaya diri (overconfident). Dan bahwa kelewat percaya diri adalah mantera menuju bencana.
Saya sendiri……………memang sudah takarannya segini. Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H