Sore itu, semilir angin berhembus pelan. Daun-daun bergoyang perlahan. Terik matahari yang menyengat sepanjang hari mulai berkurang. Sepasang sejoli duduk saling beradu pandang.
"Dik, maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"
Sang perempuan terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hatinya berbunga-bunga. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Yang tampak hanya senyum tipis di sudut bibirnya.
Perlahan tangan sang pria merogoh saku celananya. Sebuah kotak kecil pun dibuka. Tampak sebuah cincin bermata berlian memancarkan cahaya. Lalu diraihnya tangan tangan sang kekasih dan disematkan cincin indah itu di jari manisnya.
Semesta menjadi saksi, sepasang kekasih memadu janji mengarungi hidup bersama, menjalani tugas suci membangun rumah cinta dibawah naungan ridho Sang Maha Cinta.
Sore itu, semilir angin berhembus pelan. Daun-daun bergoyang perlahan. Terik matahari yang menyengat sepanjang hari mulai berkurang. Sepasang sejoli duduk saling beradu pandang. Suasana dua puluhan tahun lalu berulang.
"Ma, Ky mau masuk perguruan tinggi. Key masuk menengah atas, sementara Kyo masuk sekolah dasar. Kita perlu banyak uang untuk biaya sekolah mereka".
Lelaki itu menghela nafas. Sesekali diseruput secangkir kopi yang tersaji di atas meja. Terbayang setumpuk rupiah yang harus disiapkan untuk biaya sekolah ketiga anaknya.
"Papa punya tabungan berapa? Mama ada sedikit perhiasan yang bisa dijual untuk menambah biaya sekolah mereka".
"Ada sih ma, coba kita hitung berapa yang kita punya. Bagaimanapun, pendidikan mereka adalah prioritas utama".