Lihat ke Halaman Asli

Tolak Pengesahan RUU Intelijen Negara. SBY-Boediono dan Parlemen tidak Berniat Mewujudkan Demokrasi di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_112138" align="alignleft" width="300" caption="TOLAK RUU INTELIJEN"][/caption]

I.

Krisis Ekonomi kapitalisme 4 tahun belakangan ini (yang merupakan kelanjutan dari krisis-krisis sebelumnya): Berdampak pada semakin melemahnya jalur-jalur ekonomi kapitalisme (terutama di negara berkembang termasuk Indonesia), sehingga membutuhkan strategi baru untuk mengatasinya; Agresifitas pasar !

II.

Situasi politik dalam negeri: Sedangkan di dalam negeri, pertarungan antar borjuasi nasional (elite politik) semakin mengarah pada hal perebutan ceceran-ceceran investasi modal dan kekuasaan politik—di tengah kondisi bahwa kapitalis internasional sedang gencar menyalurkan dana besar-besaran untuk berinvestasi di Indonesia. Bertarungnya antar faksi borjuis (elit politik) di parlemen dan di lahan-lahan perekonomian (proyek-proyek infrastrukstur, kontrak-kontrak karya pertambangan sampai pada korupsi dana program untuk rakyat) semakin merumitkan elit. Kenyataan berikutnya adalah kekuatan di parlemen terpecah-pecah dalam beberapa konsolidasi partai-partai, tidak terkonsentrasinya kekuatan elite di parlemen. Namun, konsolidasi elite yang terpecah-pecah sekalipun masih memiliki kemampuan kuat untuk menindas rakyat. Belum lagi, kepercayaan rakyat terhadap mereka makin hari makin menurun, protes-protes rakyat dan gerakannya sedikit banyak berkontribusi dalam pengungkapkan kebobrokan parlemen, elite, partai politik dan rezim SBY-Boediono.

Setelah krisis-krisis dunia yang mengguncang ekonomi kapitalis (krisis finansial dan barang), maka kapitalisme-neoliberal memang sudah seharusnya memerlukan restorasi dalam dirinya, agar sanggup bertahan dan meminimalisir resiko yang diakibatkannya. Saat ini, yang sangat dibutuhkan—dan sedang dijalankan—oleh kapitalisme-neoliberal adalah agresifitas pasar (bahan baku, tenaga kerja, finansial).

III.

Agresifitas pasar dalam hal-hal yang lebih spesifik terlihat dalam:

1.Makin banyak dan lebih luasnya penjajahan modal, semisal dengan dibuatnya blok-blok regional untuk beberapa wilayah (ACFTA, AANZ FTA, dll).

2.Dalam hal pasar tenaga kerja (termasuk barang komoditi), mereka lebih bisa menghemat biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi untuk keuntungan, missal: borjuis sekarang ini lebih perhatian dalam penghematan biaya produksi dengan memberlakukan efesiensi dan outsourching; yang bermakna bahwa kapitalis lebih jeli memperhitungkan jumlah yang paling tepat penggunaan tenaga kerja, akibatnya adalah pengurangan dan penambahan tenaga kerja.

3.Terlebih dalam situasi krisis dan persaingan antar kapitalis yang ketat, maka ekspresi dari efisiensi tersebut berupa fleksibilitas tenaga kerja (tidak ada status buruh tetap, kapan saja bisa diPHK sepihak—apalagi bila tidak ada serikat buruh revolusioner).

4.Dalam level kebijakan, jelas bahwa kapitalis membutuhkan legalitas hukum untuk memudahkan itu semua; UU No. 13/2003 adalah cermin nyatanya.

IV.

Dalam situasi sulit tersebut (krisis, persaingan antar kapitalis, kebutuhan agresifitas pasar, dll) kapitalisme sangat membutuhkan JAMINAN agar kondisi politik sebuah pemerintahan kapitalis (di negeri berkembang termasuk Indonesia) berjalan tanpa hambatan/serangan yang bisa saja muncul dari ruang lingkup gerakan sosial (mengantispasi respon/radikalisasi rakyatnya). Dalam konteks Indonesia, dimana saat ini terjadi polarisasi kekuasaan politik dan ekonomi (tidak ada borjuis yang dominan), maka jalan yang bisa ditempuh adalah bagaimana membuat situasinya lebih kondusif, setidaknya, bisa dengan cara deteksi dini atas ‘gangguan’ yang bisa mengakibatkan kondisi politik dan ekonomi tidak kacau. Wujudnya bisa saja dengan pelarangan-pelarangan aktivitas politik yang saat ini sudah terus berlangsung dan lebih gencar lagi.

V.

Indonesia, tahun '98 (dan setelahnya), pernah merasakan bagaimana demokrasi didesak oleh rakyat (dengan metode aksi massa) untuk mendobrak batas-batasminimalnya yang sekian lama digardai oleh tentara dan orba.

Batas-batas minimum demokrasi (yang merupakan hasil/capaian dari gerakan rakyat thn 1998) sedikit demi sedikit dihambat laju perkembangannya, seiring dengan kebutuhan kapitalisme dalam menstabilkan perekonomian mereka dari krisis demi krisis yang terjadi, juga kebutuhan akan adanya stabilitas politik di tengah-tengah kenyataan bahwa tiada lagi borjuasi nasional yang memegang kendali penuh atas perekonomian dan kekuasaan politk—tidak ada sentralisasi kekuasaan seperti tersentralnya kekuasaan pada masa orba di tangan kroni Cendana—dalam pengertian lain, terdapat pertarungan antar faksi borjuis di dalam parlemen.

VI. Dalam bulan juli 2011 nanti, RUU Intelijen rencananya akan disahkan menjadi UU Inteliijen, sementara isian RUU Intelijen ini sangat berpotensi mengebiri hak-hak demokratik rakyat dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. 1.Dalam RUU Intelijen ini pengertian-pengertian abstrak masih digunakan untuk memberikan peluang bagi negara melakukan intrepetasi berdasarkan kehendak subyektifnya, seperti 'ancaman nasional' dan 'keamanan nasional' serta 'musuh dalam negeri'. 2.Dengan pengertian abstrak tersebut, RUU intelijen ini juga memberikan kewenangan kepada aparat Intelijen untuk melakukan penangkapan pada siapapun yang dicurigai mengganggu keamanan nasional, tanpa surat penangkapan dan tanpa pendampingan dari pengacara, selama 7x24 jam (tentu saja bisa melebihi 7x24 jam, karena penangkapan ini dilakukan secara tertutup, bahkan pihak keluarga-pun tidak diberitahu). Dan tidak ada hak bagi korban penangkapan ini untuk melakukan gugatan pada negara. 3.RUU Intelijen ini juga memberikan kewenangan bagi aparat intelijen untuk melakukan penyadapan bagi siapapun tanpa ijin dari pengadilan, dan memberikan kewenangan bagi aparat intelijen untuk menyimpan informasi publik dengan alasan demi kemanan nasional.

VII. Statemen kepala BIN (lihat di: (http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/228480/284/1/BIN_dan_DPR_Dukung_Penambahan_Wewenang_Intelijen) Badan Intelijen Negara (BIN) mendukung pemasukan pasal pemeriksaan intensif dan penyadapan di dalam rancangan undang-undang (RUU) intelijen. Pada rapat kerja Komisi I DPR di kompleks Senayan, Jakarta. Kepala BIN Sutanto menekankan pentingnya pasal-pasal itu bagi penggalian informasi intelijen sekaligus mencegah gangguan keamanan NKRI. Kewenangan intelijen, kata dia, terbatas pada kasus-kasus yang bisa mengganggu keamanan nasional, seperti terorisme, mata-mata atau spionase, sabotase keamanan, atau provokasi yang berujung pada gerakan subversif. Ia menegaskan BIN hanya akan menggunakan kewenangan-kewenangan itu pada keadaan terdesak. VIII. Bahasa dalam RUU tersebut begitu abstrak. Karena abstrak, maka Negara (lewat legalitas UU) makin memiliki keleluasaan dalam melakukan aktifitasnya hingga masuk pada wilayah yang paling privat dari warga Negara. Aktifitasnya berupa: penyadapan, penangkapan tanpa pendampingan pengacara (bahkan dilarang) dan tertutup (sama dengan penculikan), dll. IX.

Masih lemahnya respon gerakan dalam isu-isu demokrasi politik.

Kenyataan masih lemahnya kekuatan gerakan. Persatuan-persatuan demokratik dan maju, belum begitu sanggup mengisi kekosongan propaganda alternative bagi rakyat, meskipun ada beberapa konsolidasi-konsolidasi, namun masih ‘berserak’. Sehingga belum menemukan relevansinya menjadi pusat persatuan yang strategis, dan tangguh (beragitasi-propaganda-mewadahi).

X. Mari bersatu untuk membatalkan RUU tersebut: Capaian besar dari demokrasi, yang telah susah payah didobrak oleh gerakan pada era reformasi 98, kini mulai berangsur-angsur ditutup ruangnya. Pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan aktivitas rakyat makin marak, misal: pelarangan pembentukan serikat buruh, pelarangan organisasi mahasiswa ekstra kampus untuk hidup di dalam kampus, penembakan petani yang ingin mengambil tanahnya, pembatasan kebebasan berekspresi, pelarangan menentukan orientasi seksual bagi kaum LGBTIQ, melarang kebebasan intelektual (pelarangan dan pembakaran buku), dll dll. Terhadap situasi di atas (yang makin membahayakan) maka gerakan pro-demokrasi haruslah waspada dan jeli melihat geliat politik kekuasaan dan arah demokrasi saat ini yang makin sering dibatasi. Gerakan haruslah berani dan tegas menganmbil sikap menolak dan melawan represi negara lewat alatnya. Tidak bisa lagi kebutuhan untuk mengembangkan demokrasi dijadikan sebagai wacana pinggiran. Kepentingan gerakan untuk menumbangkan rezim antek kapitalis (SBY-Boediono, parlemen, partai dan elit politik) akan lebih sukar jika ruang demokrasinya dipersempit oleh kebijakan/UU yang tidak melapangkan jalannya demokrasi. Gerakan rakyat makin tidak ada jaminan untuk bebas dalam memperjuangkan hak-hak ekonominya, karena, kesejahteraan rakyat (yang sedang diperjuangkan) selalu saja berbenturan dengan kepentingan kapitalisme dalam meraup keuntungan dari penjajahan modal dan eksploitasi alam berikut manusianya (buruh). Maka, tidak bisa tidak, bahwa rakyat dan Gerakannya, harus mewaspadai ini. Bersatu dan kongkonsolidasikan persatuan sebagai upaya untuk menolak pengesahan RUU Intelijen tersebut. Meluaskan dan memberitahukan kepada seluas-luasnya rakyat akan bahayanya RUU tersbut karena bisa masuk dan mengganggu privasi rakyat (missal: pasal tentang penyadapan) Dengan alasan apapun, Negara tidak berhak untuk membatasi ruang gerak rakyat dalam melakukan aktivitas politiknya. Sikap kita adalah MENOLAK RUU Intelijen. Jadi, tegas kami menolak, tidak seperti beberapa LSM dan beberapa ormas lain yang menganalisa bahwa masih adanya ‘niat baik’ dalam RUU Intelijen tersebut, tapi dengan syarat, ada revisi. Bukan pula merevisi, tapi MENOLAK. (Selebaran PEMBEBASAN) http://www.pembebasan-pusat.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline