Semua orang berdo'a. Do'a-do'a itu keluar dari hati melalui ucapan, tiada terputus dan khusuk diiringi tangis serta air mata. Dan semua orang semakin erat menyatu dalam keteguhan dan ketabahan menghadapi hari ini -senin, 11 April 2016 di Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Aku berhenti melangkah di belakang bapakku yang masih berjalan kaki ke jalan raya. Kemudian kuberanikan diri berjalan memutar arah menuju keramaian yang sudah kulewati, melewati orang-orang berseragam. Aku terus melangkah meski terasa berat menapaki jalan. Ini bukan karena isi dalam tas punggungku yang berisi buku dan peralatan sekolahku, mungkin ini karena aku tidak ingin meninggalkan rumahku. Benarkah?
Aku harus melewati lagi barisan gerobak yang biasanya untuk berjualan, termasuk gerobak bapakku untuk menjual mie ayam. Barisan gerobak itu sebenarnya bukan untuk menghalangi langkahku, melainkan untuk menghalangi orang-orang berseragam tadi. Nyata aku merasa dihalangi juga.
Kakiku semakin berat kuangkat untuk berjalan ke rumahku. Kulihat orang-orang di sekitar, tetanggaku dan barisan orang-orang berseragam itu saling berhadapan, saling menghadang dan menghalangi. Di sudut sana ada beberapa mobil besar warna kuning dengan garuknya yang siap menggusur rumah-rumah di kampungku, termasuk rumah yang kutinggali.
Ah, aku harus bisa ke rumahku sebelum hancur digusur mobil garuk itu. Beberapa orang bisa kulewati karena tubuhku masih kecil. Tapi ketika aku berusaha melewati bapak-bapak berseragam, aku tidak bisa.
"Hehh... Nak, kamu tidak boleh ke sana. Bahaya!" kata Bapak berseragam kepadaku sambil menghadangku membuatku tidak bisa melangkah lagi.
"Kenapa tidak boleh, Pak?" tanyaku berusaha melepaskan diri untuk melanjutkan niatku.
"Sudahlah, Nak. Ikhlaskan saja!"
"Saya mau mengambil dan membawa mawar putih milik saya, Pak." kataku sambil nunjuk pot bunga ukuran sedang. "Itu, Pak."
Bapak berseragam itu tetap saja menghalangi langkahku. Dan aku terus berusaha bisa mengambil dan membawa bunga mawar putihku, tapi aku tidak bisa apa-apa lagi.
"Fai...!"