Lihat ke Halaman Asli

Very Barus

Writer, Traveler, Photographer, Videographer, Animal Lover

Tiga Hari Menjelang Lebaran

Diperbarui: 9 April 2024   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto diambil dari inc.com 

Masih teramat membekas dalam ingatanku kejadian yang cukup memilukan sekitar puluhan tahun yang lalu. Rasa trauma yang sampai sekarang masih terus menghantuiku.

Ceritanya begini...

Tiga hari menjelang lebaran, aku dan dua temanku (kita sebut saja si A dan B) mereka kakak beradik yang beda usia terpaut satu tahun. Kala itu usia kami sekitar 17 tahunan dan adiknya 16 tahun. Kalau itu kami sepakat pergi berenang di sungai menkelang buka puasa. Tapi, kajadian tersebut menjadi momen terakhirku bertemu dengan mereka.

Hubungan pertemananku dengan si A dan B cukup dekat. Selain masih tinggal bertetangga, kami juga satu sekolahan yang sama. Setiap menjelang Lebaran, kami sudah mengatur rencana untuk merayakan hari Raya bersama-sama. Keliling kota naik becak smabil bawa tembakan air. Meski sesungguhnya aku tidak merayakan Hari Raya karena aku Kristen. Tapi, toleransi di kampungku sangat tinggi kala itu.

Demi memiliki baju baru di hari raya, aku rela membujuk orangtuaku agar dibelikan baju Lebaran untuk dipakai saat Lebaran. Meski sudah di marahi berkali-kali tapi dengan isak tangis Bombay aku berusaha merayu ibu agar membelikan aku baju baru minimal satu pasang saja.

Mungkin karena tidak tega melihat aku yang terus-terusan menangis, ibu luluh juga dan mengajakku pergi ke kota untuk mmebeli baju baru. Setelah mendapatkan baju baru, aku yang kala itu masih duduk dibangku SD menceritakan ke A dan B perihal baju baruku. Kami sepakat akan memakai baju baru di lebaran pertama.

Memasuki Hari Raya, aku sudah tidak sabar menunggu kedua temanku pulang sholat Ied agar kami bisa pergi bareng-bareng keliling kota dengan baju baru kami. Biasanya, saat lebaran, kami akan naik becak mesin beramai-ramai (satu becak bisa mengangkut 5 sampai 8 anak-anak). Di becak yang melaju kami sudah menyiapkan pistol air yang diisi air berwarna. Setiap berpapasan dengan siapa saja di jalan, kami menyerang mereka dengan pinstol air. Begitu juga sebaliknya, orang yang kami tembaki itu pun membalas dengan tembakan air berwarna juga. Tidak heran kalau pulang ke rumah baju baru sudah berubah wujud menjadi seperti baju compang camping. Kotor dan dekil penuh warna.

Tak pelak, ibuku langsung "bertanduk" memarahiku. Tangannya langsung mendaratkan jeweran ke paha dan tanganku. Isak tangis pun bergema. Kali ini bukan karena merengek minta baju baru melainkan karena baju baru yang baru dipakai sudah porak poranda penuh warna dan kotor.

Setiap bulan Ramadahn dan menjelang Hari Raya, aku, A dan B memang selalu punya kisah yang sangat seru yang akan kami ingat-ingat kembali setiap kali menjelang lebaran. Kejadian Lebaran tahun lalu menjadi bahan tawa kami memasuki Lebaran berikutnya. Begitu terus menerus hingga kami beranjak remaja.

Memasuki usia remaja, kami masih melakukan ritual yang sama. Menyambut bulan Ramadahn dan Hari Raya dengan sukacita. Memasuki usia puber momen kami pun berubah. Di bulan Ramadhan, saat menunggu berbuka puasa, biasanya kami pergi mincing atau berenang di sungai yang lokasinya tidak jauh dari rumah A dan B.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline