Bukan menjadi rahsia umum lagi kalau momen Lebaran adalah momen yang paling ditunggu-tunggu setelah selama satu bulan lamanya menjalankan ibada puasa. Tapi, Momen Lebaran juga sekaligus momen yang paling ditakuti oleh bagi mereka-mereka yang "empuk" menjadi objek pertanyaan orangtua juga kerabat.
Seperti baru-baru ini, sebelum mudik ke kampung halamannya di Jogja, temanku sempat curhat, kalau ada rasa berat hati untuk berlebaran di kampung halaman. Alasannya klise. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke statusnya yang masih melajang di usia yang sudah kepala 3. Pertanyaan tersbeut tidak jauh-jauh dari masalah status. sementara, usia 30 early belum terlalu tua untuk melajang. sebaliknya sudah menjadi kekhawatiran bagi orangtuanya kalau jodoh anak lanangnya semakin jauh kalau usianya semakin tua.
"Bagi mereka, usia 30-an itu sudah tua Bangka banget. Desakan untuk menikah itu jauh lebih penting ketimbang menanyakan keadaan gue selama hamper 3 tahun tidak mudik karena Covid."
"Sebenarnya, momen Covid itu gue suka banget. Apalagi pemerintah memberlakukan larangan untuk Mudik untuk mengurangi angka kenaikan jumlah orang terpapar Covid. Meski himbauan dilarang mudik, tetep saja gue berpergian. Gue memilih liburan ke Bali di hari lebaran ketimbang mudik."
Sepenggal keluhan teman gue mungkin mewakili keluhan banyak orang. Bahkan banyak meme-meme bermunculan di sosmed soal pertanyaan-pertanyaan saat mudik di Hari Lebaran. Seperti;
- Kapan nikah?
- Kapan punya anak?
- Kapan punya rumah?
- Kapan punya mobil?
- Kapan..kapan..dan kapan lainnya.
Budaya "kepo" bagi masyarakat Indonesia sepertinya sudah mendarah daging dari kakek, nenek dan orangtua kita. Bagi mereka menanyakan hal-hal yang sifatnya pribadi dan prinsif adalah hal yang wajar. Sementara, yang menjadi objek atau terdakwa yang ditanyakan merasa jengah dan gerah. Bahkan, banyak yang terang-terangan berontak dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif itu. Meski, bagi orangtua, pertanyaan mereka merupakan wujud perhatian mereka terhadap anak-anaknya. Sementara dari sudut pandang anak-anak era Milenial, pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah melanggar hak azasi mereka sebagai manusia single. Mau menikah atau tidak bukan menjadi urusan orangtua. Karena mereka tidak mau menikah atau belum mau menikah karena masih disibukkan dengan pekerjaan dan mengejar jenjang karir yang lebih tinggi lagi. Bagi mereka, menikah harus benar-benar siap secara finansial juga mental. bukan menikah karena patokan usia.
"Kami tidak butuh jabatan tinggimu di tempat kau bekerja. Kami hanya butuh pasangan hidupmu yang akan menikahimu."
Jleb!!
Jawaban yang menohok membuat si objek enggan berkata-kata lagi dan memilih mengungsi dari ruang keluarga masuk ke kamar. Ngadem dari serangan bertubi-tubi pertanyaan dan kakek, nenek, bapak dan ibu serta sanak keluarga lainnya.
Bagaimana dengan anda?