Lihat ke Halaman Asli

Very Barus

Writer, Traveler, Runner, Photo/Videographer, Animal Lover

Single, Married & Divorced (Part 3)

Diperbarui: 26 Februari 2021   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi foto: Pixabay)

Setelah masuk ke fase pernikahan (Married), apakah semua kebahagiaan ditemukan? Tentu jawabnnya bisa iya dan bisa tidak. Banyak pasangan yang menikah akhirnya merasa hidupnya lebih sempurnah setelah menikah. Tapi, ada juga yang merasakan "neraka" kehidupan justru setelah dia menikah. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk DIVORCE alias bercerai.

Simak ceritanya...

Saya punya teman dekat yang berusaha mempertahankan RT-nya, meski sesungguhnya hatinya sudah tidak kuat lagi. Alasan kenapa dia bertahan salah satunya masalah anak. Meski hampir setiap hari mengalami kekerasan secara verbal juga fisik, Namun, dia tidak punya nyali menggugat cerai suaminya. Apalagi dia berasal dari keluarga yang sangat religi dan sangat tabu jika ada perceraian. Akhirnya dia mempertahankan dengan batin yang sangat terluka.

Tapi, meski sudah berusaha betahan, akhirnya benteng pertahanan akhirnya runtuh juga, teman saya nekad menggugat cerai suaminya karena ketahuan selingkuh. Ketika kepergok eh si suami malah membela diri dengan melakukan kekerasan lebih dahsyat. Caci maki dan hinaan dilontarkan kepadanya salah satu kalimat yang membuat dia bulat tekad menggungat cerai adalah," Aku selingkuh karena kau sudah tidak bisa membuat aku terangsang lagi."

Seketika darahnya mengalir deras untuk cepat-cepat menggugat cerai. "Ngapain aku mempertahankan rumah tanggaku kalau teryata selama ini aku hanya dianggap sebatas babu." Isaknya.

Lalu, perceraian terjadi, hatinya justru terasa plong dan hidupnya lebih lega setelah bercerai. Ketakutan akan perceraian ternyata tidak semenakutkan yang dibayangkan. "Jika itu jalan yang terbaik, kenapa tidak kita pilih?" ucapnya setelah bercerai.

Beda kasus lagi dengan teman saya lainnya. Sepasang suami istri ini adalah teman saya. Teman baik pula. Saya tahu lika liku rumah tangga mereka dari awal menikah sampai akhirnya memutuskan untuk bercerai. Si istri merasa perjuangannya untuk merubah sifat suaminya sia-sia. Meski dia tahu itu sudah menjadi karakter yang sangat sulit dirubah. Kecuali si empunya sifat punya niat untuk berubah.

Ketika baru menikah, mereka masih tinggal dirumah kontrakan. Karena tidak ingin hidup di rumah kontrakan terus, si istri punya inisiatif mengelola keuangan suaminya yang pada dasarnya tidak bisa menyimpan uang alias boros. Sampai akhirnya mereka bisa beli apartemen dibayar cash dan mereka pun pindah dari kontrakan. Si Istri lega bisa mengumpulkan uang suaminya dengan baik sampai impian punya tempat tinggal terwujud.

Tapi, permasalahan rumah tangga tetap saja muncul. Si suami yang cenderung cuek dengan keadaan membuat si istri Lelah hati dan fisik. Tidak pernah di support setiap melakukan apa pun. Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Hingga akhirnya, lima tahun pernikahan, rumah tangga mereka runtuh juga. 

Perceraian pun terjadi. Tapi, karena sama-sama merasa punya hak dengan apartemen yang mereka tempati, mereka sama-sama bertahan tinggal satu atap meski sudah bercerai. Alsannya, si istri tidak mau keluar kalau apartemen tersebut tidak dijual dan uangnya dibagi rata. Si suami merasa apartemen itu punya dia karena dari hasil jerih payahnya, maka dia tidak mau menjual.

Luar biasa rumitnya perceraian itu. Karena sifat Ego selalu dominan sehingga perceraian itu terjadi. Sifat ego juga yang terdepat untuk mengakui kalau masing-masing tidak mau ditubuh sebagai orang yang bersalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline