Sebelum munculnya Rene Descarates, yang didaulat menjadi bapak filsafat modern, telah muncul tokoh bernama Copernicus. Meskipun namanya mirip-mirip varian gurita, tapi dialah yang seharusnya didaulat menjadi bapak filsafat modern. Bagaimana tidak, dialah orang yang pertama menentang pemahaman makrokosmos, bahwa nasib manusia ditentukan oleh alam atau yang di luar dirinya, diganti dengan mikrokosmos, bahwa manusialah yang menentukan nasib alam di sekitarnya. Descarates sebenarnya pelengkap dari teori-teorinya.
Teori mereka yang menjadikan manusia sebagai subjek dari alam, akhirnya berhasil membuat dentuman besar, yaitu ditandai dengan zaman Ranaissance. Pada zaman inilah banyak berkembang ilmu pengetahuan berikut dengan spesifikasinya masing-masing. Termasuk di dalamnya mekanisme penataan bangunan dan kota. Saat ini, Kita dapat melihat pengaruh Rannaissanceberupa gaya bangunan gereja yang begitu megah, rumah-rumah tersusun rapi, serta sungai yang mengalir mengitari rumah penduduk. Selain dapat memanjakan mata, sungai tersebut merupakan transportasi warga dengan menggunakan perahu.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Perbandingannya memang sangat jauh, antara Tahafut al Falasifa dengan Babad Jawi. Yang satu sangat rasional, sementara yang lain penuh dengan dongeng dan mistik. Tapi bukan berarti kemajuan ini tidak dapat disusul. Jawabannya, tetap bisa. Tentu dengan beberapa usaha yang keras.
Usaha-usaha itu setidaknya tergambar dengan adanya inisiatif pemerintah DKI Jakarta untuk mengadakan normalisasi kali yang seringkali memicu terjadinya banjir. Rumah warga yang terdapat di bantaran kali, secara tidak langsung harus digusur guna memperdalam dan memperluas kali. Warga yang tergusur rumahnya kemudian di pindahkan ke rusun-rusun yang telah disiapkan. Terlihat, adanya usaha pemerintah untuk menyusul ketertinggalan dari negara-negara Eropa.
Sayangnya, usaha itu mendapat pertentangan keras dari warga. Sebab, dengan digusurnya rumah mereka di bantaran kali, sama saja dengan menghilangkan sejarah indah masa lalu mereka, dimana semasa kecil dijadikan tempat bermain. Selain itu, tempat tinggal mereka yang digusur itu tidak perlu disewa, beda dengan rusun yang berbayar. Karena itu, mereka memilih mempertahankan bentengnya.
Di tempat yang lain, pemerintah harus memilih kepentingan maslahat yang lebih besar. Yaitu, bila terjadi banjir, bisa berdampak ke semua lini, termasuk mengganggu stabilitas ekonomi, hanya karena segelintir orang yang enggan untuk pindah ke rusun. Jadilah pemerintah melakukan upaya paksa pemindahan, yang seringkali dipandang tidak manusiawi. Ilustrasinya, ketika berada dalam sebuah bus. Lantas tiba-tiba melintas satu orang di tengah jalanan. Pilihan diberikan kepada supir, apakah harus menabrak satu orang tersebut, atau membelokkan kemudi bus yang tentu saja membahayakan banyak orang yang berada di dalam bus.
Singakatnya, pandangan saya pribadi, masyarakat seharunya mengerti tujuan dari diadakannya pemindahan ke rusun ini. Tidak lain dan tidak bukan untuk kepentingan orang yang lebih banyak. Di samping itu, pemerintah bukan berarti juga bersih dari kesalahan, karena telah melakukan upaya paksa bahkan tidak jarang dengan kekerasan. Seharusnya, warga dapat mengerti akan kemaslahatan yang lebih besar, serta pemerintah, ketika normalisasi kali telah selesai, masyarakat yang dipindahkan ke rusun, dibangunkan rumah kembali di sekitar kali sehingga dapat kembali ditempati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H