Lihat ke Halaman Asli

Pergi untuk Lupa

Diperbarui: 23 Januari 2016   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan karena lantaran tidak punya uang dia menolak untuk pulang ke kampung halaman. Bukan. Dia hanya malu karena belum menamatkan pendidikannya di negeri rantau. Setidaknya itulah yang dikatakan Safwan ketika menolak diajak pulang ke kampung bersama Indra.

Setibanya di kampung, Indra langsung menceritakan kejadian itu di hadapan orangtua Safwan. Bukan hanya karena malu belum menyelesaikan pendidikan yang dia ceritakan, tapi juga kisah tentang Safwan yang jarang tidur malam, rambutnya yang mulai beruban dan rontok, bahkan kulitnya yang nampak mengkriput layaknya orangtua.

“Apa penyebab dia jarang tidur, nak Indra?” kata orangtua Safwan. Sebentar matanya sembab seperti membendung ribuan ton air bendungan yang hendak melimpah.

“Seingatku ketika aku bangun, hampir setiap subuh, aku mendapatinya memegang buku. Sementara aku bangun, dia sama sekali tidak memperhatikanku. Sepertinya teks buku yang ada di tangannya menjadi dunia baru baginya. Sekalinya tersadar, aku akan dibentaknya karena telah mengalihkan perhatiannya. Barang lima sampai sepuluh menit dia memakiku. Baru setelah itu dia kembali membaca.”

“Kau dimakinya, nak?”

“Betul bu. Tapi ketika fajar menyingsing, aura kekuningan telah tertambat di ujung sana, dia justru merengek meminta maaf. Seperti layaknya anak kecil yang meminta ampun pada ibunya. Aku pun merasa bingung dengan perubahan drastis sikapnya. Awalnya, rasa-rasanya ingin aku pindah kamar dan tidak bersama dia lagi. Namun karena masa lalu, niat itu kuurungkan.”

Delapan tahun yang lalu, rombongan pedagang Bugis hendak berlayar ke negeri Melayu dan rencananya akan diteruskan di negeri seribu satu malam. Para pedagang itu ditemani oleh pelaut yang berpengalaman dan handal.

***

Untuk kebiasaan di kampung tersebut, memang mayoritas hanya memiliki kemampuan menjadi pedagang dan pelaut. Hanya dua itu saja yang menjadi hobi mereka. Bahkan anak kecil yang masih berumur jagung pun tak luput untuk dibawa berkeliling samudra. Kebiasaan itu telah melekat sebagaimana telah ditancapkan oleh nene moyang sebelumnya.

Maka sungguh aneh jika ada seorang anak yang kerjanya hanya mengamati tepatnya mengumpulkan buku-buku lontara lalu membacanya. Pun kerap kali orang-orang yang berumur dan dianggap sepuh di kampungnya, menasehatinya agar jangan hanya duduk membaca di rumah, itu tidak menghasilkan apa-apa. Lebih baik waktunya yang kosong itu digunakan untuk membantu orangtunya di laut mencari penghidupan. Bukan hanya duduk, membaca entah apa, lalu makan. Kau bertinggkah seperti orangtuamu itu pembantumu.

Mata Safwan mendadak merah. Menatap nanar orangtua yang dianggap sepuh di kampungnya. Dari raut wajahnya, sepertinya bukan aura marah saja yang tersingkap, tapi juga dia sepertinya merasa aneh dengan ucapan para tetua adatnya yang seperti kurang bijak dalam memberikan bimbingan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline