[caption id="attachment_103359" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Kartu Kredit/Admin (shutterstock)"][/caption] Bisnis kartu kredit saat ini sedang menjadi sorotan. Tewasnya Irzen Octa, nasabah Citibank yang akan menyelesaikan tagihannya telah mencoreng praktek perbankan. Menurut korban, tagihan kartu kreditnya semula hanya Rp48 juta, tapi telah membengkak menjadi Rp 100 juta. Tidak mendapat penjelasan mengenai hal itu, korban justru dibawa ke ruang bagian penagihan dan dipaksa oleh debt collector untuk membayar. Diakui bahwa sistem pembayaran dengan alat pembayaran yang berupa kartu telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kartu kredit terus meningkat. Sampai dengan akhir 2010, jumlah kartu kredit yang beredar tercatat sebanyak 13,22 juta kartu yang dimiliki oleh sekitar 6,5 juta orang. Hal ini berarti 1 orang rata-rata memiliki 2 kartu kredit. Transaksi belanja dengan kartu kredit selama 2010 mencapai lebih dari Rp 177 trilyun, dengan jumlah transaksi mencapai 18,1juta transaksi per bulan. Bahkan saat ini jenis kartu kredit yang beredar telah ada yang menggunakan sistem syariah. Setidaknya ada dua jenis kartu kredit syariah yang beredar di Indonesia. Mekanisme transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit syariah sama dengan kartu kredit konvensional. Fitur yang ditawarkannya juga mirip dengan fitur kartu kredit kovensional. Bahkan prasarana yang digunakan untuk menjalankan transaksi kartu kredit syariah ini juga sama dengan kartu kredit konvensional, misalnya mesin EDC, ATM, dsb. Beberapa hal yang membedakan dalam kartu kredit syariah adalah akad atau perjanjian yang digunakan, tujuan penggunaan, cara perhitungan biaya, serta teknik dalam penagihan. Tentunya perjanjian atau akad yang mendasari penerbitan kartu kredit syariah ini berbeda dengan kartu kredit konvensional. Kalau dalam kartu kredit konvensional nasabah akan dikenakan bunga yang merupakan sumber utama pendapatan, maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak boleh dikenakan instrumen yang berupa bunga. Selain itu, kartu kredit syariah ini tidak boleh digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai syariah, misalnya untuk transaksi di night club, gambling transaction, dsb. Jika nasabah menggunakan kartu di tempat terlarang tersebut maka otomatis kartunya akan tertolak (decline) di mesin EDC. Tidak Ada Bunga Dalam kartu kredit konvensional, nasabah dikenakan bunga yang nilainya 3-4% per bulan sebagai bentuk pengambilan keuntungan terhadap pelunasan tagihan yang dicicil. Pengenaan bunga tersebut akan dibungakan lagi jika nasabah tidak membayar penuh tagihannya. Apabila nasabah hanya membayar minimum payment, maka bunga akan dihitung sejak mulai pembelanjaan dan akan ditambahkan pada total jumlah pinjaman. Artinya nasabah harus membayar bunga atas bunga, yang disebut sebagai bunga majemuk. Sehingga dapat dipahami tagihan kartu kredit bisa berlipat ganda, apalagi jika nasabah kurang bayar tagihan, maka akan muncul denda akan dan atas denda tersebut akan dikenakan bunga lagi. Dalam kartu kredit syariah, sebagai pengganti bunga, nasabah akan dikenakan fee yang nilainya tergantung pada sisa kewajiban bukan dari nilai pembelanjaan. Dengan demikian fee ini menjadi relatif lebih murah dibanding kartu kredit konvensional. Perbedaan lain dengan kartu kredit konvensional adalah perlakukan pengenaan denda bagi nasabah yang mengalami terlambat dalam pembayaran kartu yang jatuh tempo dan atau pemakaian kartu yang melampaui batas limit. Jika dalam kartu kredit konvensional denda keterlambatan dapat diakui seluruhnya sebagai sumber pendapatan bank, bahkan merupakan sumber pendapatan yang cukup besar, maka dalam kartu kredit syariah nasabah tidak akan dikenakan denda. Bank hanya boleh mengenakan biaya penagihan (ta'widh) yang nilainya sesuai dengan kerugian riil yang terjadi akibat penagihan yang dilakukan oleh bank. Misalnya dalam penagihan, bank menghubungi nasabah melalui telepon atau mendatanginya, maka biaya riil yang akibat penagihan ini dapat dibebankan kepada nasabah. Teknik dalam penagihannya pun harus memperhatikan aspek syariah, tidak boleh sama dengan kartu kredit konvensional. Teknik penagihan harus menggunakan prinsip-prinsip syariah, baik cara berperilaku, berbicara dan bertindak. Pihak bank syariah lebih mengutamakan edukasi kepada nasabah tentang kewajiban hutang piutang menurut ajaran Islam. Disisi lain, bank syariah juga akan menilai kemampuan bayar nasabah, apakah nasabah dalam kesulitan keuangan atau termasuk nasabah nakal. Jika nasabah mengalami kesulitan maka akan diberikan keringanan atau tangguh dalam membayar. Cara penagihan kartu kredit syariah dilakukan melalui pendekatan kepada nasabah bukan melalui cara-cara premanisme, tidak menggunakan kekerasan dan penganiayaan terhadap nasabah. Bank syariah juga tidak akan melakukan teror baik secara langsung kepada nasabah maupun orang-orang terdekat nasabah. Cash Collateral Salah satu batasan yang diatur dalam kartu kredit syariah adalah tidak mendorong pemegang kartu untuk melakukan pengeluaran yang berlebihan (israf). Berbagai program promosi yang dilakukan kartu kredit syariah lebih mendorong nasabahnya mendekatkan diri pada ajaran agama atau untuk mempunyai jiwa wirausaha. Dengan demikian ada kartu kredit syariah yang katalog produknya pun berisi tawaran ibadah umroh, buku-buku agama atau untuk membeli paket usaha franchise. Untuk menghindari nasabah terlilit hutang maka dalam kartu kredit syariah ada rambu-rambu yang harus dipatuhi yakni pemegang kartu harus menyetor cash collateral atau goodwill investment, minimal sebesar 10% dari limit kartu. Jadi kalau nasabah mendapatkan limit kartu sampai dengan Rp 10 juta, maka dia harus menyetor dahulu ke rekening tabungan sebesar Rp 1 juta, baru kemudian kartunya dapat diaktifkan. Kebijakan ini diberlakukan untuk jenis kartu biru (classic) atau yang plafondnya lebih rendah. Hal ini didasari atas fakta bahwa jenis kartu biru yang tinggi tingkat kemacetannya. Kebijakan ini juga untuk mencegah lembaga keuangan syariah terjebak pada kasus yang sama dengan kartu kredit konvensional, yakni nilai NPL-nya yang cenderung tinggi. Dalam rangka mengurangi tingkat kemacetan di kartu kredit syariah, maka dalam proses aplikasi kartu, harus diyakini bahwa calon pemegang kartu harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi tagihan pada waktunya. Minimum pendapatan calon pemegang kartu paling tidak 3 (tiga) kali upah minimum regional per bulan. Penetapan ini juga mempunyai tujuan agar masyarakat tidak menjadikan hutang sebagai salah satu sarana utama untuk pembiayaan kebutuhan hidup, selain itu kartu kredit syariah agar lebih difungsikan sebagai alat pembayaran yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dan bukan semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan konsumsi. Selain itu, edukasi kepada masyarakat luas tentang penggunaan kartu nampaknya perlu lebih ditingkatkan. Tips-tips penggunaan kartu kredit secara aman dapat lebih disosialisasikan kepada nasabah pemegang kartu kredit. Dengan adanya informasi yang jelas maka diharapkan tingkat kemacetan kartu kredit juga akan dapat ditekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H