Lihat ke Halaman Asli

Tentang Pantai, Jogjakarta, dan Alexandria

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentang Pantai, Jogjakarta, dan Alexandria (Masih tentang Gadis Misterius)

Antara hangat dan sejuk. Dan saat senja sudah mulai mundur dari hitungan menit. Ya, musim semi yang selalu dinanti, tentang sejuknya pagi, hangatnya malam, dan tawa yang berlarian. Penjual-penjual sari buah di sepanjang jalan juga sudah mulai akrab dikunjungi cerita. Dan semoga suatu saat, akan ada cerita senyuman dari ramahnya kursi para penjual sari buah.

Dan senyum semi kali ini sudah terawali dengan sesungging bersama tawa angin hangat saat malam. Meski kadang mendingin, lalu menghangat, sesukanya, seriangnya, semisterius senyumnya. Dan setelah adanya senja penyambut semi dari bukit kota itu, lelaku alam menjadi sesukanya; misterius! Tentu saja, selayaknya pemuji, bahkan lelaku alam akan selalu terpandang dari sudut yang dipuji. Gadis itu misterius.

Permulaan semi atau awal panas kini bukan masalah. Hanya kadang udara yang tak berterusterang tentang esok atau lusa yang menjadi masalah. Begitu juga kabar tentang malam, siang dan pagi. Kadang pagi mengabarkan malam, sebaliknya, bahkan bertolak belakang. Lalu, mungkin bualan tentang misterius masih terlalu banyak terucap. Hingga kata pun menjadi misterius menggambarkan gadis misterius itu. Mungkin kelak, biar benar ada lukisan goresan pensil yang melukis tatapan dan seyum itu.

Benar, semi kali ini serasa lebih semi dari tahun sebelumnya. Terlebih saat gadis itu bercerita tentang Jogjakarta. Ruang eksotik dan berbudaya dari padatnya pulau Jawa. Yang kata gadis itu, kota yang bisa membuat musim menjadi selalu semi. Dan masih kata gadis itu, indah, meski bukan kota kelahirannya. Setidaknya, itu yang kutangkap saat dia bercerita tentang semi. Dan selebihnya, menikmati semi dari tatapan dan senyumnya bisa menjadi pilihan lain.

Ya, gadis itu memang gadis metropolitan. Akrab dengan kebisingan, dan paham akan keangkuhan. Bahkan, mungkin saja ia dibesarkan oleh hiruk-pikuk. Dan semua itu pula yang dilebur di dalam dirinya sendiri; semi, sejuk, hangat. Seperti saat dia bercerita panjang tentang kenangannya di Jogjakarta.

Ia menggambarkan jalanan sejuk sepanjang Malioboro dengan tegaknya hotel, pertokoan, dan mall. Lalu riangnya menggambarkan sekelompok seniman jalanan menyanyikan lagu dengan ikhlas; indah dan menghibur. Lalu ia berujar tentang malam di jalan itu, warung lesehan, pengamen, pelukis, hingga pengemis. Atau kalau boleh aku menyimpulkan, gadis itu ingin membilang kata; romantis. Benar, ceritanya tentang Jogjakarta masih begitu nyata meski kini berada ribuan langkah darinya. Dan tentang nama-nama lain dari cerita romantisnya itu, sudah bukan gangguan, atau mungkin lebih tepatnya, tak perlu dipedulikan. Bahkan, banyangan untuk sekedar menikmati malam Jogjakarta bersamanya enggan hadir, takut merusak bayangan cerita itu.

***

Lelamun dan ingatan bercerita dengan gadis itu berakhir dengan sederhana, menjadi pagi yang benar-benar pagi; kumandang adzan, kicau burung, lalu birunya langit. Pagi ini di Alexandria. Segar, sejuk, dan ritual mantra-mantra pagi yang bergeming. Dan benar, ingatan yang menguat cerita gadis itu tentang Jogjakarta memberikan sedikit arti tentang pagi ini; masih ada kota eksotik di negeri ini. Dan selayaknya pagi di Jogjakarta, geliat orang kampung-kampung kota dimulai; teh hangat, kopi, dan obrolan pagi.

Pagi yang eksotik, santap pagi bersama angin laut, nyanyian seniman jejadian, dan di samping benteng kokoh Qaitbay. Jadi ingat cerita gadis itu (lagi), bersama Jogjakarta, bersama benteng Vrederburg. Dan lagi, cerita gadis itu bersama siapa sudah tak perlu lagi dipedulikan, cerita tentang apa dan bagaimana. Ah, terlebih caranya bercerita, benar-benar selayaknya manusia. Tuhan memang Maha Pencipta Keindahan!

Benar kata gadis itu, tiap jengkal peninggalan lelaku sejarah itu anggun. Begitu juga Vedreburg bagi gadis itu. Anggun meski dibangun dengan keangkuhan penjajah, lalu masih terkadang masih menjadi keangkuhan anak muda bangsa; berpose kacak-pinggang, berfoto, dan menertawakan. Dan masih kata gadis misterius itu, pose-pose keangkuhan itu melunturkan cerita anggunnya. Tak lain tentang Qaitbay yang budak, merdeka, lalu kuasa. Membangun benteng untuk melindungi kuasanya. Seperti Belanda yang memperbudak, lalu melindungi kuasanya. Benar juga kata gadis itu tentang Vredeburg, bangsa kita hebat, tak perlu membangun benteng, cukup membiarkan benteng-benteng dibangun, lalu direbut. Meski entah seberapa panjang cerita untuk merebut. Ah, semoga bukan mitos, benar ada benteng besar dalam diri penghuni bangsa kita. Dan mungkin misteri gadis itu yang kini jadi bentengnya. Membenteng, melindungi gadis itu dari bualan dan ancaman.

Serentet celotehnya tentang sejarah dan lelakunya membentuk mozaik tentang gadis itu. Dan benar, untuk mozaik itu, butuh sedikit jaga jarak pandang untuk menikmatinya; memahami dan menilainya.

***

Siang, jalanan yang tak begitu angkuh, dan sepanjang pantai berombak sepoi. Tawa dari sekeluarga yang menikmati semi di pantai. Sebuah bola untuk anaknya, secangkir teh untuk ayah, dan senyum untuk ibu. Ah, seandainya saja hanya ada musim semi di negeri ini. Ya, jalanan kota Alexandria ini memang eksotik, mungkin bagiku, Jogjakartanya Mesir. Tentang sejuknya, lelaku penghuninya, dan jalanannya.

Segenggam eskrim dari penjual di seberang jalan pantai, menyusuri pantai, lalu duduk menikmati hangat dan sepoi angit laut. Ah, benar saja, jadi teringat cerita gadis itu tentang bagaimana dia menikmati eskrim durian untuk menyusuri sepoi angin menuju Parangtritis. Pantai yang eksotik, tak perlu dibandingkan dengan pantai di Alexandria ini. Cukup diingat, dilukiskan dalam hati, lalu diceritakan, begitu menurut gadis misterius itu. “Apalagi untuk kemudian hanya dibanggakan untuk menambah rasa angkuh, lalu mengumbarnya di setiap pantai yang dijajaki”, saat itu dia menambahkan dalam ceritanya. Terlepas benar-tidaknya yang dia ucap, setidaknya masih ada orang sepertinya yang ingin berbangga tanpa tanpa merendahkan.

***

Ada saja cerita yang turut menyusuri lelaku di Alexandria ini. Eksotisme kota ini memang se-aroma dengan eksotisme Jogjakarta, terlebih dengan paras gadis misterius itu yang menceritakan; senyum dan tatapnya. Membuat langkah di Alexandria ini seperti menyusuri cerita-cerita dari gadis itu. Lagi-lagi, semoga itu hanya angan, bukan ingin, apalagi harapan. Biar cerita gadis itu menjadi ceritanya, yang lalu ia ceritakan, bersama senyumnya.

Dan yang benar saja, meski tak seberapa lama bercengkrama, gadis itu dan Jogjakarta begitu lekat. Tak ayal, cerita-cerita gadis itu tentang Jogjakarta juga begitu lekat padaku, hingga ke Alexandria. Dan semoga kelak, ia akan bercerita padaku tentang Alexandria, dengan caranya. Seperti halnya ia bercerita tentang bukit senja di awal semi tahun ini. Ya, gadis itu memang pandai bercengkrama dengan lelaku di sekitarnya. Tapi bagiku, dia tetaplah gadis dengan tatapan dan senyuman misterius, atau aku lebih suka memanggilnya; Si Gadis Misterius.

Jum’at pagi, awal musim panas, 2012. Landy T. Abdurrahman Seorang Pinggiran

Gadis Misterius di Bangunan Keramat

Tatap dan Senyumnya; Misterius(!)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline