Lihat ke Halaman Asli

Musim Dingin di Kampung Melayu

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musim Dingin di Kampung Melayu
(Masih Tentang Gadis Misterius)

Kampung Melayu kota Kairo. Malam Jum'at di musim dingin, 2011. Gempita rerampai dan perangai penduduk kota Tua ini menemui puncaknya di malam Jum'at; sebagai penghujung dalam hitungan pekan. Menjemput riang tawa anak-anak yang berlarian, serta siulan dan lenggokan wanita-wanita yang berjingkrak mengiringi sepasang pengantin. Warga kota ini memang benar tau cara mengakhiri pekan. Dan di 'kampung melayu' kota ini, sebagian penghuni berumpun melayu pun turut (mungkin) menikmati suasana akhir pekan ini; melihat, menertawakan dan keheranan.

Desember, bulan penghujung di angka tahun. Menjadi puncak romantisme musim dingin; bergumul dengan selimut, teh hangat dan menjalani kehidupan maya. Ya, itu rutinitas yang ada bagi sebagian (bahkan, besar) warga kampung melayu kota Kairo. Di samping turut menghangatkan buku-buku diktat kuliah yang terus meminta dibelai dengan sedikit memaksa. Memaksa sembari menunjukkan jam dan kalender; ujian telah mendekat. Dan waktu berbeda dengan dunia maya, bisa diputar, lalu diberi jeda, lalu diputar.

Seperti halnya bulan ini, Desember lalu Januari, rutinitas tahunan berganti angka, lalu berganti kalender. Tumpukan buku-diktat kuliah masih saja dirutinkan tiap puncak musim dingin datang. Menjadi penghangat, hiasan, bahkan alasan untuk mengungkapkan ini adalah benar-benar musim dingin. Dengan dalih temperatur di bawah standar kawasan tropis bagi warga kampung melayu, tumpukan buku-diktat menjadi penghangat di sela-sela selimut, segelas minuman penghangat dan seperangkat computer. Yah, rutinitas, atau mungkin sekedar trend? Entahlah, semoga saja tidak berlangsung lama.

Malam Jum'at di musim dingin, cukup menjadi alasan singkat bercengkrama dengan bebrapa kawan di kursi-kursi penjaja makanan khas rerumpun melayu di kota ini. Berjajar, bahkan bersaing, tak kurang dari 10 nama tempat penjaja makanan khas rerumpun melayu ada di satu gang; menawarkan sekedar obat rindu kampung halaman. Tertawa, bercerita dan saling lempar sapa dari kursi-kursi penjaja hidangan khas kampung melayu. Mencoba mengusir dingin dengan menghangatkan hati; pengobat rindu. Rutinitas dan ritual perihal ujian serasa tak mengusik penjaja hidangan khas melayu ini, cukuplah penjaja-penjaja itu mendapat keuntungan atas alasan rutinitas ujian yang semakin mendinginkan suasana musim dingin ini.

Ah, tapi sayangnya suasanya penjaja itu hanya akan semakin akrab jika dengan pundi-pundi junaih (mata uang Mesir). Dan benar-benar tidak bagi yang tidak cukup memilikinya. Cukup bercengkrama dan tawa antar kehidupan maya. Kadang justru lebih menghangatkan dari kursi-kursi milik penjaja itu. Dan kembali lagi pada rutinitas dan ritual musim dingin di bulan Desember jelang Januari; setumpuk selimut, sealas tidur, secangkir minuman penghangat, seperangkat komputer dan terselip di sela-selanya, setumpuk buku dan diktat.

***

Dan malam jum'at di musim dingin kali ini. Masih sama seperti yang lain, diktat dan buku yang terselip di antara selimut dan alas tidur menghangat. Sebelum senyum misterius itu datang lagi, meski hanya dari kehidupan maya, tapi tetap mengusik dan melambai untuk sekedar dipandang, atau bahkan ditatap. Bukan memaksa, justru merayu untuk sejenak menyingkap selimut beserta tumpukan buku di dalamnya, untuk sekedar melempar sekalimat sapa atas dinginnya malam ini.

Lambaian senyum, tatapan misterius, dan mengetahui namanya sebenarnya cukup untuk menghampirinya meski sekedar dengan sekata atau sekalimat. Tapi justru itu semua yang hanya cukup senyum yang menatap dan tatapan yang menajam itu hanya dialurkan dalam ceracau kata di musim dingin.

Dan dari sudut kampung melayu kota Kairo ini, di musim yang semakin mendingin dengan ritual dan rutinitas warga kampung melayu kota ini di bulan Desember jelang Januari, sekalimat sapa dan tanya untuk pemilik senyum misterius itu; “Selamat malam, apa kabar?” Sayangnya, sekalimat itu hanya cukup berhenti dan diucap di angan. Saat lidah sedang sekompak mata untuk cukuplah menikmati senyum itu. Seorang gadis, pemilik senyum misterius.

Malam Jum'at, musim dingin 2011.
Pinggiran Kampung Melayu Kairo.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline