Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia pada 10 desember, saya Bara Susanto berani mengatakan jika hingga saat ini hak untuk memiliki Sexual Intelligence (SI) atau Kecerdasan Seksual masih saja terpasung. Hingga akhirnya kita hidup tanpa memiliki kecerdasan yang sangat penting dalam hubungan antar manusia yang ditakdirkan untuk berpasang-pasangan. Artinya, hingga saat ini, kita hidup dalam kebersamaan tanpa kecerdasan yang sesuai.
Karena semua bentuk pendidikan hanya akan membangun IQ, skill dan berbagai kecerdasan lainnya yang berakhir pada dunia kerja untuk menghasilkan uang. Artinya proses untuk mencapai financial goals telah terpenuhi.
Sedangkan untuk mencapai relationship goals masih saja sulit untuk tercapai. Tentu saja karena proses untuk membangun SI (Sexual Intelligence) tidak berjalan dengan baik. Karena berbagai model pendidikan untuk membangun kecerdasan seksual selalu saja dianggap tabu, porno dan tidak pantas untuk diajarkan.
Padahal manusia memiliki tiga kewajiban utama yang harus dijalankan dengan ilmu yang tepat. Pertama, beribadah kepada Sang Maha Pecipta. Kedua, bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial. Ketiga, menjalankan takdir hidup berpasang-pasangan dan memiliki keturunan selanjutnya.
Dari tiga hal ini, hanya kewajiban ketiga lah yang tidak dijalankan dengan ilmu yang tepat dan kecerdasan yang sesuai. Hingga akhirnya, untuk mencapai relationship goalsdalam dalam 4 fase kebersamaan,kita selalu melakukannya dengan mata tertutup. Karena "cinta itu buta" ketika tidak memiliki ilmu dan kecerdasan seksual.
Tapi apakah benar-benar tidak ada ilmunya?
Sebenarnya ada. Detail Ilmunya pun sudah sangat jelas, namun masih terserak dan terpisah-pisah.
Misalnya dalam kitab suci yang sangat jelas mengatur batasan, arah dan tujuan dari seks, seksual dan seksualitas. Baik dalam definisi, aktifitas maupun hubungan sebab-akibatnya. Termasuk juga kitab karya tokoh-tokoh agama terdahulu. Dalam budaya setempat maupun hukum yang berlaku pun jelas ada. Secara klinis, ilmu kedokteran menjadi sumber ilmu pada aspek biologis. Dan masih banyak lagi.
Namun kata sakti "itu tabu" telah menjadi penyebab utama mengapa kita sendiri lah yang memasung pendidikan seksual itu sebagai bagian dari pornografi. Saya menyebutnya sebagai "roda pembodohan seksual" yang terus diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Saat anak bertanya tentang hal yang berhubungan dengan seks, seksual atau seksualitas yang lebih detail, percayalah, para orang tua pasti akan menghentikan pertanyaan itu dengan kata ajaib "itu tabu". Hanya sebagian orang tua saja yang mampu menjawabnya dengan sekedarnya. Sedangkan untuk jawaban yang lebih detail, akan berhenti dengan jawaban "nanti kamu juga tahu sendiri".
Inilah sebuah kenyataan dari "roda pembodohan seksual" yang memasung hak kita untuk belajar dan membangun kecerdasan seksual sejak memasuki usia seksual. Akibatnya, saat menjalani hubungan pra nikah dan memasuki usia pernikahan, kita tidak memiliki kecerdasan seksual.