Lihat ke Halaman Asli

Bang Bara

Blogger Ideologis

MUI Terjepit Ruang Sekularisme

Diperbarui: 22 Agustus 2015   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI)  yang  disampaikan dalam sidang pleno Ijtima Ulama ke-5 Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tahun 2015 di Pesantren at-Tauhidiyah pada 7-10 Juni 2015 lalu soal praktek Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai dengan syariah yang membingungkan masyarakat harus dapat perhatian besar kita.

 

Kita harus bisa meluruskan makna sesungguhnya keberadaan MUI di Indonesia. Tidak ada pilihan lain ! karena MUI adalah lembaga yang diberi anggaran oleh pemerintah untuk menjalankan tugas – tugasnya. Bagaimana mungkin pemerintah dan MUI berbeda pendapat soal BPJS kesehatan, padahal Sebelumnya MUI sudah menyampaikan pemikirannya melalui pertemuan dengan DPR RI? Dalam hal ini berarti ada yang salah dari persepsi MUI dan pemerintah atau ada yang salah persepsi DPR RI dalam menilai pendapat MUI? Terlepas itu semua yang harus dilakukan masyarakat Indonesia khusunya beragama Islam adalah mendudukkan hakekat kebaradaan MUI dalam pandangan Islam.

 

*** 

Dalam sejarah Islam  ditemukannya persoalan – persoalan khusus yang ditangani oleh orang – orang khusus. Dahulu, sekelompok sahabat Rasulullah saw. saling bertanya satu sama lain tentang beberapa persoalan tertentu yang memang cukup sukar untuk mereka pahami. Rasulullah saw. telah menyebutkan bertingkatnya pemahaman para sahabat terhadap nash-nash syariah. Rasulullah saw. bersabda, “Di antara umatku, orang yang paling sayang kepada umatku adalah Abu Bakar; orang yang paling ketat dalam masalah yang ditetapkan Allah adalah Umar; orang yang paling pemalu adalah Utsman; orang yang paling mahir dalam membaca Kitabullah adalah Ubay bin Kaab; orang yang paling memahami hukum faraidh adalah Zaid bin Tsabit; orang yang paling tahu halal-haram adalah Muadz bin Jabal. Setiap umat memiliki orang kepercayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR at-Tirmidzi)

 

Jadi memang adanya perbedaan kemampuan umat Islam dalam memahami hukum - hukum Islam itu sendiri adalah realitas tak terbantahkan. Bahkan sahabat Rosulullah sebagai pendidik sejati juga mengakuinya. Tidak hanya itu, sebagai muslim kita berkewajiban untuk memahami hukum - hukum Islam. Maka sewajarnyalah kita tau bagaimana memahami prinsipnya nash-nash syariah itu sendiri. Hanya saja, kebanyakan kita kesulitan melakukan itu. Hal ini bisa disebabkan banyak dari kita tidak mengetahui bahasa Arab atau kurang mengetahui makna-maknanya secara mendalam, khususnya setelah banyak kesalahan dalam tata bahasa dan khalayak sudah tidak mengetahui lagi bahasa Arab yang baik dan benar (fushha). Mereka yang seperti ini membutuhkan orang lain yang lebih memahami nash-nash syariah. Hal seperti itu dibolehkan di mata syariah dengan sejumlah patokan tentunya.

 

Dr. Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh mengatakan, "Setiap mukallaf harus menaati Allah dan Rasul-Nya tanpa kecuali. Kewajiban ini tentu menuntut mereka untuk mengetahui perkara yang disyariahkan Allah SWT baik yang termaktub dalam al-Quran ataupun yang terangkai dalam ucapan Rasulullah saw. Mengetahui perkara yang disyariatkan Allah SWT dilakukan dengan merujuk pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, mengambil hukum dari keduanya setelah memahami nash-nash tersebut dan mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Jika seorang mukallaf tidak menemukan hukum secara jelas dalam nash-nash tersebut, baru dia beralih pada ijtihad sebagaimana yang diperintahkan oleh syariah. Lalu berijtihadlah dia dalam koridor yang ditetapkan syariah. Inilah jalan yang lurus untuk mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum itu”

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline