Kami bercengkrama di tepi Selokan Mataram. Sesekali kami terlihat tertawa bersama. Begitu mudahnya akrab dengan orang desa. Padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Itulah kekhasan orang Jawa.
Di sepanjang Selokan Mataram cukup banyak kendaraan berseliweran. Adasatu dua mobil melintas, namun kebanyakan adalah sepeda motor dan sepeda onthel. Beberapa dari mereka memperhatikan kami dengan mimik wajah takjub. Seorang penggembala (65 tahun) sapi, kelahiran Rajek Lor, berputra 10 orang (pria 6, putri 4), buruh tani.
Pemilik nama Jumadi ini memiliki 2 sapi: induk betina berkulit putih (5 tahun) dan anaknya berkulit merah (1 tahun). Ia telah memiliki sapi lebih dari 10 tahun, sebagai tabungan hidup yang sewaktu-waktu butuh bisa
dijual. Sapi berkulit putih lebih murah harganya dibandingkan yang berkulit merah.
Ia menggembalakan sapi di pinggiran lereng curam Selokan Mataram yang justru ditakuti oleh para penggembala lainnya, karena bisa saja sapinya tercebur ke kedalaman Selokan Mataram.
Putranya ada yang diKalimantan, ada yang di Jakarta, dan yang terakhir seorang putri bersama sang istri tetap setia menemaninya di rumah.
*) 17 Mei 2005, Selasa, 16.45 WIB. Selokan Mataram, Rajek Lor, Godean, Sleman, DI. Yogakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H