Lihat ke Halaman Asli

Difabel dan Aksesibilitas: Hak Difabel dalam Mengakses Pendidikan

Diperbarui: 13 November 2022   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pendidikan merupakan pilar penting dalam pembangunan suatu bangsa yang menentukan bagaimana nasib bangsa kedepannya. Oleh sebab itu, menerima pendidikan yang layak pun menjadi hak bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali bagi kaum difabel yang seharusnya juga memiliki hak setara untuk memperoleh akses pendidikan di semua satuan, jalur, jenis, dan strata.

Meiliana (15) atau yang lebih kerap disapa Meilin merupakan salah seorang pelajar difabel (tunarungu) yang berdomisili di Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember. Kini Meilin duduk di bangku sekolah menengah pertama di SLB Harapan Pelangi. Melalui hasil wawancara dengan sang ibu, beliau menjelaskan bahwa aksesibilitas pendidikan yang ramah difabel masih minim di kecamatannya. Bahkan saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Meilin yang saat itu disekolahkan di sekolah reguler sempat tidak naik kelas selama dua tahun karena masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungan di sekolahnya. Selanjutnya, ibunda Meilin menjelaskan jika selepas lulus dari sekolah dasar, kedua orang tua merasa kebingungan dalam mencari sekolah lanjutan bagi Meilin.

"Saya dengan bapaknya Meilin awalnya bingung mau disekolahin dimana. Saya coba dateng ke SMP terdekat namun dijelaskan jika di SMP terdekat tidak dapat menerima Meilin akibat kendala umur, kan Meilin itu sempat ndak naik kelas. Mau dimasukkan ke pondok juga saya bingung, disana pasti juga dibully. Ya saya sebenernya juga sudah pasrah mas, cuman kami coba cari-cari informasi tentang sekolahan buat Meilin, untungnya ada teman bapaknya yang ngasih tahu kalau ada SLB Harapan Pelangi di Glagahwero ini," terang Ibunda Meilin. 

Ibunda Meilin juga menjelaskan jika sebelumnya tidak ada sosialisasi   maupun informasi yang diberikan oleh pemerintah setempat mengenai sekolah-sekolah khusus difabel maupun sekolah inklusi, sehingga beliau beserta keluarga harus mencari informasi secara pribadi. Selain itu, ibunda Meilin menyebutkan jika SLB Harapan Pelangi ini pun sebenarnya masih kurang dalam hal fasilitas. Jarak tempuh dari rumah pun cukup jauh, yakni sekitar 10 km. Namun demi melanjutkan pendidikannya, keluarga pun memutuskan untuk mendaftarkan Meilin di SLB tersebut.

Permasalahan yang dialami Meilin dapat kita analisis menggunakan pandangan Robert K. Merton melalui Teori Fungsionalisme Struktural. Menurut Ritzer, Merton dalam karyanya yang berjudul On Theoritical Sociology menjelaskan bahwa dalam teori ini masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan dengan menekankan keteraturan. Artinya setiap perubahan yang terjadi akan mempengaruhi perubahan lain dalam struktur sistem sosial. Merton juga memperkenalkan mengenai konsep fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest sendiri merupakan fungsi nyata yang diharapkan sedangkan fungsi laten dikatakan sebagai fungsi tersembunyi yang tidak diharapkan.

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh Meilin menunjukkan bahwa keluarganya memasukkan Meilin ke SLB dengan harapan bahwa ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya serta mendapatkan pendidikan yang layak. Akan tetapi, ada konsekuensi yang pada akhirnya perlu diterima oleh Meilin dan keluarganya, yakni akses jarak yang cukup jauh. Sedangkan di dekat rumahnya tidak ada SLB dan sekolah reguler pun menolak Meilin. Selain itu juga ada ketakutan tersendiri dari keluarga, yakni takut jika di sekolahkan di sekolah reguler maka Meilin ini akan dikucilkan. Sebab melihat dari pengalaman saat sekolah dasar pun keluarga memasukkan Meilin ke sekolah reguler dengan harapan ia mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, pada kenyataannya Meilin justru mengalami diskriminasi dan kesulitan adaptasi dengan lingkungan sekitar.

Padahal dapat diketahui bahwa memang sekolah reguler kurang ramah bagi para penyandang difabel, namun pemerintah setempat tidak memberikan pendampingan untuk mencari informasi mengenai SLB. Jika dilihat dari keadaannya pun, pemerintah setempat tidak berupaya untuk menyediakan sekolah bagi para penyandang difabel. Setidaknya diharapkan terdapat satu SLB di setiap kecamatan agar mereka tidak perlu menempuh jarak yang jauh bila ingin mengakses pendidikan yang layak bagi mereka.

Penulis: Ghifarizky Zannu Prasetya, Dwi Retno Kusuma, Dhimas Enggar Ramadhani




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline