Lihat ke Halaman Asli

Idealis, Pragmatis dan Perang Badar

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilpres kali ini hanya memiliki dua pasangan calon. Dari segi prosesnya tentu menjadi lebih efisien karena bisa cukup dengan satu putaran. Tapi dari upaya untuk memenangkan sepertinya menunjukkan gejala adanya pertarungan habis habisan.

Di tengah tengah hingar bingarnya pertarungan strategi dua kubu calon presiden saya mencoba membuat potret para aktor di atas panggung pilpres ini. Saya mendapatkan 3 gambar menarik dari obyek dengan gaya masing masing

Gambar pertama bergaya Idealis, diperagakan oleh Kubu Jokowi - JK : Tidak bagi bagi kursi!!….. Semboyannya ..mau gabung silakan tapi jangan minta macam-macam. Kubu ini mencoba untuk menerapkan secara konsisten pemikiran yang ideal mengenai Koalisi yaitu kesamaan ideologi, kesamaan plafform, kesamaan visi misi.

Gambar kedua, Kubu Prabowo-Hatta. Memasang gaya Pragmatis : Siapa saja boleh gabung, tapi tentu saja harus bawa sesuatu. Ketika melihat sepak terjang kubu ini saya jadi teringat lirik lagu “Tanjung Perak” yang pernah dinyanyikan Waldjinah. Berikut penggalan syairnya - saya ambil ref-nya:

Tanjung perak tepi laut

Siapa suka boleh ikut

Bawa gitar keroncong piul

Jangan lupa bawa anggur

Tanjung perak.. tepi laut

…………

Kubu ini menerapkan praktek membuka diri pada siapa saja yang ingin masuk (catch all). Ada yang butuh jabatan , ada yang mencari tempat pelarian. Silakan gabung yang penting bisa menghasilkan suara sebanyak banyaknya. Kubu ini berpandangan realistis, tidak ada koalisi tanpa bagi bagi…Soal perlunya asas kesamaan ideologi, kesamaan platform dan visi sebagai dasar membangun koalisi tidak penting asal menghasilkan suara sebanyak banyaknya asas ideal boleh dikesampingkan.

Bagi bagi kursi (kekuasaan) di koalisi itu realita politik yang sudah lazim di mana mana. Prinsipnya yang namanya kerjasama itu pasti ada kompensasinya. Di politik sama saja dengan di dunia bisnis. No Free Lunch!

Gambar ketiga, tampil dengan wajah serius seperti orang takut kalah sehingga perlu mengumandangkan Perang Badar. Apa itu Perang Badar? Saya kira sudah banyak yang mengulas tentang makna dan peristiwanya ketikaanalogi ini dilontarkan Amien Rais. Ketika semangat untuk memilih dan memenangkan pemilihan presiden dianalogikan dengan semangat untuk berperang ala Perang Badar maka pemilihan presiden sepertinya sudah dipersepsikan menjadi ajang perebutan kekuasaan yang harus diperjuangkan mati matian untuk memenanginya.

Dari ke tiga gambar di atas dua diantaranya akan dikonteskan dan diberi penilaian. Yurinya adalah rakyat pemilih Indonesia. Sedang satu gambar lagi, yaitu gambar ketiga tidak ikut kontes tapi karena seruan itu diucapkan oleh seorang tokoh reformasi, tentu itu bukan sembarang seruan. Saya yakin, orang sekaliber Amien Rais pasti memiliki alasan yang memadai dibalik seruannya itu. Itu makanya menjadi menarik perhatian saya untuk ikut dipotret agar bisa memberikan gambaran suasana di atas panggung.

Lantas bagaimana pengaruh gaya ini terhadap efektifitas dalam meraih dukungan?

Faktanya adalah ; gaya pragmatis kubu Prabowo lebih banyak menarik perhatian dan direspon para pemimpin Partai, ada PAN,PPP,PKS, PBB dan GOLKAR. Sedang gaya Idealisnya Jokowi didukung lebih sedikit Pemimpin Partai (NASDEM,PKB dan HANURA). Seandainya suara pilpres ditentukan oleh perolehan suara parpol maka kubu Prabowo dengan gaya pragmatisnya sudah mengantongi kemenangan, skornya 48.93% lawan 39.97%. Akan tetapi kenyataannya nanti suara pilpres bukan miliknya ketua partai. Rakyat yang memiliki hak suara langsung yang akan menentukan mau pilih gambar yang mana. Rakyat sang empunya suara akan menentukan pilihannya bukan berdasarkan konsesi atau kompensasi juga tidak karena di iming imingi kursi. Rakyat akan memilih berdasarkan hati nurani dan kecerdasannya.

Setelah menjadi Presiden

Pekerjaan setelah terpilih antara lain akan diawali dengan menyusun kabinet, membentuk tim kerja dan mulai menyusun program untuk memenuhi janji kampanye. Gaya pragmatis yang pada awalnya mendapat dukungan banyak ketua partai akan disibukkan dengan utak atik posisi untuk membayar hutang budi kepada tim pendukungnya. Tidak perlu cerita panjang panjang. SBY punya pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran. Dari akur menjadi susah diatur.

Bagaimana dengan gaya Idealnya Jokowi yang mendapat kontrak koalisi tanpa kursi? Memang tidak ada yang bisa menjamin bahwa nantinya para pendukung ini tidak minta apa-apa ketika Jokowi menang, akan tetapi setidaknya rakyat bisa menilai bagaimana mentalitas orang parpol dalamberkomitmen, terutama mereka yang telah mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi-JK. Mereka sudah berjanji dan berkomitmen mendukung tanpa imbalan. Saatnya juga bagi Jokowi dan para pendukungnya untuk membuktikan bahwa koalisi tanpa bagi-bagi kursi itu mungkin terjadi. Kalau ini benar-benar terjadi, pemerintahan Jokowi tidak begitu terbebani dengan hutang budi dan bisa lebih berkonsentrasi untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya dengan lebih efektif.?

Selamat menentukan pilihan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline