Lihat ke Halaman Asli

Merasa Jadi Korban

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang ada dalam pikiran orang yang sedang menjadi korban? Ya, dia akan menyalahkan pihak yang menyebabkannya menjadi korban. Kalau memang benar-benar dia menjadi korban, pikiran seperti itu tidak salah dan wajar-wajar saja. Meskipun dalam beberapa kasus menyalahkan pihak lain kadang tidak ada gunanya. Bagaimana halnya dengan orang yang merasa menjadi korban? Menjadi korban dan merasamenjadi korban adalah dua hal yang berbeda.

Menjadi korban adalah suatu keadaan (yang merugikan atau membuat menderita) akibat dari tindakan pihak lain atau karena suatu kejadian. Korban penipuan adalah seseorang yang menderita kerugian karena tindakan kejahatan oleh orang lain. Korban bencana alam adalah seseorang yang mengalami penderitaan karena suatu kejadian (alam). Sedang merasa menjadi korban adalah persepsi seseorang yang memposisikan dirinya sebagai korban. Artinya belum tentu dia itu benar-benar menjadi korban. Menjadi korban adalah kondisi faktual sedang merasa menjadi korban adalah sebuah delusi

Orang yang merasa menjadi korban akan memainkan ego pribadinya dalam tingkatan yang cukup kuat ketika berurusan dengan orang lain. Eckhart Tolle dalam bukunya “A New Earth Awakening to Your Life’s Purpose” mengatakan ; Semakin kuat ego seseorang maka semakin kuat pula anggapan bahwa orang lain adalah sumber masalah bagi kehidupannya. (The stronger the ego in you, the more likely it is that in your perception other people are the main source of problems in your life). Selanjutnya Eckhart Tolle ini juga mengatakan ; “His sense of being a victim, of being wronged by so many people, make him feel very special”. Saya rasa pendapat ini banyak benarnya juga. Coba kita lihat sekeliling kita. Orang atau sekelompok orang yang merasa menjadi korban sering menampakkan sikap merasa berhak berbuat apa saja dan kesukaannya menyalahkan pihak lain. Kosa kata favoritnya adalah ; teraniaya, dizalimi, tersakiti, diperlakukan diskriminasi dan banyak lagi yang sejenis. Orang sehat merasa tidak bersalah mengemis dipinggir jalan mengganggu orang lain karena merasa menjadi korban kemiskinan, koruptor protes dan menyalahkan penegak hukum karena merasa menjadi korban konspirasi politik.

Hari-hari ini perhatian kita juga sedang disibukkan dengan sekelompok orang yang merasa menjadi korban kecurangan pilpres. Untuk korban yang ini saya kategorikan sebagai “merasa” , masih sebatas delusi karena untuk benar-benar menjadi korban masih harus dibuktikan kebenarannya di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sidang perdananya baru saja digelar Rabu 6 Agustus 2014 ini.

Nah, lalu bagaimanakah pikiran mereka yang merasa menjadi korban kecurangan ini. Sikap yang sudah jelas dan langsung nampak  adalah menyalahkan penyelenggara pemilu atau menyalahkan siapa saja yang dianggap menjadi sebab kekalahannya. Pikiran merasa yang kemudian ditampilkan dalam wujud protes dan menggunggat itu memang tidak melanggar undang-undang dan  syah-syah saja. Di sidang MK Prabowo menegaskan siap menerima keputusan pemilu asalkan prosesnya benar dan jujur. Saya kira bukan hanya Prabowo saja yang menghendaki terselenggaranya pemilu yang bersih, jujur dan adil. Akan tetapi berharap adanya pemilu yang benar-benar bersih, jujur dan adil tanpa cacat sepertinya sebuah harapan yang berlebihan. Hampir semua gelaran pemilihan di Republik ini baik itu pemilukada atau pemilu legislatif sepertinya tidak pernah terdengar adanya pemilihan yang bebas dari tuduhan kecurangan. Di pilpres ini pun saya kira benar apa kata Mahfud ; dua capres sama-sama curang.

Sekarang kasusnya sedang bergulir ke MK, seperti halnya sengketa pemilukada yang akhirnya selesai melalui Keputusan MK, mestinya pikiran merasa menjadi korban kecurangan pilpres ini nantinya juga harus ada ujungnya, yaitu Keputusan MK, walaupun seandainya Keputusan MK ini nantinya tidak sesuai yang diharapkan, maka pihak yang kalah harus legowo menerima kekalahannya dan menyudai pikiran merasa menjadi korban. Dengan tetap memelihara pikiran merasa menjadi korban misalkan melanjutkan ke ranah politik di Senayan, maka pikiran seperti ini akan meciptakan ketidaktenangan bagi yang memeliharanya dan menimbulkan suasana yang terus menerus menjadi panas. Apalagi kalau kemudian ada pengerahan masa, terus terjadi bentrok seperti yang terjadi di Jawa Timur, maka benar juga kata si Tolle di atas ; “Violence is a primitive but still very widespread way in which the ego attempts to assert itself, to prove itself right and another wrong. Sepertinya kubu Prabowo memang sedang menunjukkan “kebenarannya” dengan menggunakan kekuatannya. Semoga hanya sampai di sini. Di sidang MK yang terhormat ini. Salam Damai Indonesia.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline