Salah satu babak penting dalam sejarah bangsa kita baru saja kita lewati. Pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) yang secara umum berlangsung seru dan demokratis telah berhasil kita laksanakan. Dan akhirnya, tanggal 22 Juli kemarin, KPU telah menetapkan secara defenitif satu pasang calon yaitu Jokowi dan JK sebagai pemegang tongkat estafet berikut nya bagi negeri ini. Rasa bangga patut kita berikan kepada bangsa kita, karena dibalik sengitnya perbedaan yang ada terkhusus saat pemilihan presiden, kita masih bisa menjaga persatuan dan kesatuan kita, hal mana yang sesungguhnya menjadi point penting dari demokrasi itu sendiri.
Dibalik hingar – bingar dan hiruk – pikuk kampanye kemarin, banyak hal yang bisa kita jadikan catatan penting, demi kemajuan bangsa kedepannya. Salah satu hal penting yang mungkin bisa menjadi catatan kita adalah, bagaimana peran pers, dalam mengawal dan menjaga demokrasi kita. Insan Pers lah yang bekerja untuk mencari dan menyajikan berita2 kepada masyarakat yang disajikan kedalam media2 pemberitaan, baik cetak, televisi ataupun internet.
Kelahiran pers dilatarbelakangi oleh semangat suci yaitu untuk menyajikan informasi yang faktual kepada suatu bangsa. Di indonesia sendiri, semenjak runtuhnya rezim orde baru yang banyak mengkerangkeng kebebasan pers, pertumbuhan media pemberitaan sangat pesat. Salah satu tujuan pers di indonesia sendiri sangat mulia yaitu, turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga keamanan dan ketertiban dunia.
Dalam konsep media modern, pers berperan sebagai pencari dan penyaji berita berikut fakta – faktanya, dan pembaca lah yang berhak menilai yang mana yang baik dan salah. Produk dari insan pers dalam bentuk pemberitaan, tentu harus sesuai dengan kaidah2 pemberitaan dan kode etik pers, sehingga berita yang dibaca oleh masyarakat dapat dipertanggungjawabkan, sumber dan kesahihannya.
Tetapi, apa yang kita lihat dalam pemberitaan2 di masa2 kampanye lalu sungguh sangat berbeda dengan tujuan awal dari media tadi. Kecenderungan pers untuk menyajikan opini2 tanpa fakta yang jelas cenderung menjadikan media sebagai produk dari pers, sebagai penggiring opini bertolak belakang dengan tujuan nya semula. Hal2 ini justru mencederai semangat dan kode etik pers itu sendiri.
Kita ketahui bagaimana salah satu media cetak di pulau jawa, yang menyajikan berita – berita berisi hujatan, cacian dan fitnah kepada salah satu pasangan calon tertentu. Penyajian berita tanpa disertai fakta seperti ini, justru sangat meresahkan dan membingungkan masyarakat. Apalagi media – media ini menyasar masyarakat – masyarakat pedesaan, yang notabene tingkat pengolahan informasinya masih cukup rendah, atau dengan kata lain, gampang percaya dengan apa yang dibaca dan dilihatnya.
Media pemberitaan di televisi juga mempertontonkan hal yang sama. Untuk yang satu ini, rasanya kita patut berikan catatan khusus. Semenjak munculnya televisi di Indonesia, pertumbuhan pengguna televisi sangat masif. Penggunanya tidak mengenal tua dan muda, kaya ataupun miskin. Televisi masuk ke setiap rumah baik di kota maupun di desa, menjadikan kegiatan untuk menonton televisi layaknya ritual wajib harian. Pertumbuhan ini juga diimbangi dengan munculnya stasiun2 televisi baru. Tapi dari apa yang kita lihat kemarin, kita justru miris melihat media pertelevisan kita yang malah jadi panggung peperangan terbuka bagi kandidat capres/cawapres yang sedang bertarung. Media Televisi menjadi alat untuk menggiring opini, menebar fitnah, kebohongan dan bahkan cenderung sebagai alat pembodohan bagi masyarakat. Dan lebih miris nya kode etik pers yang wajib dipatuhi oleh insan pertelevisian itu malah dikangkangi.
Media pemberitaan di internet juga setali tiga uang. Bebas dan mudahnya orang untuk mengakses internet, menjadikan media internet juga menjadi panggung peperangan yang hampir sama Media internet menyasar para pengguna internet yang mayoritas kaum muda dan pemilih2 baru dengan psikologi pemikiran yang masih labil. Tetapi sayangnya, pemberitaan yang disajikan juga tidak jauh berbeda dengan dua saudara tuanya. Munculnya situs2 pemberitaan musiman, menyajikan berita2 bohong dan tidak jelas serta bertolak belakang dengan kaidah2 pemberitaan.
Media sosial di internet menjadi panggung peperangan tersendiri bagi masyarakat indonesia. Di media sosial, dimana masyarakat dapat dengan bebas menyuarakan pendapat dan fikirannya, menjadi etalase situasi pemikiran masyarakat indonesia. Kita dapat dengan jelas melihat bagaimana masyarakat yang sudah terpengaruhi, memposting berita2 untuk mendukung jagonya, tanpa ada sikap kritis untuk mencari tahu kebenarannya. Perbedaan, perdebatan, menjadi hal lumrah yang kita lihat sehari2 di media sosial.
Dari semua hal itu, kita melihat satu kesamaan umum pada media - media itu. Mereka digunakan sebagai alat politik. Dan menjadi logika sederhana, bahwa kepemilikan dari media itu juga adalah orang - orang yang memiliki kepentingan dalam dunia politik. Sudah menjadi rahasia umum, contohnya di media televisi, bagaimana saham stasiun TV dimiliki oleh orang - orang yang ikut terjun dalam dunia politik. Konflik kepentingan jelas terjadi dan tidak bisa dihindarkan. Saat hal itu terjadi, masihkah pers memegang teguh prinsip dan kode etik pers ?
Kita justru melihat kealpaan dari dewan pers dalam hal ini. Dewan pers, yang seyogyanya menjadi badan pengontrol dari hasil2 kerja para pers seharusnya menjadi garda terdepan dalam hal ini. Dewan pers harus memastikan hasil2 kerja pers telah sesuai dengan kode etik pers dan kaidah pemberitaan yang telah disepakati. Dewan pers juga harus bisa menjadi hakim, untuk menjatuhkan sanksi pada media2 bandel yang tidak ikut aturan. Memang dewan pers tidak bisa menanggung kesalahan itu sendiri. Kita juga menegur para pejabat, politisi dan pasangan capres/cawapres yang telah menunjukkan mental2 perusak media.
Kepada presiden yang baru, kita harusnya dapat memberikan harapan. Dengan konsep “revolusi mental” yang didengungkannya, kita berharap, pak presiden benar – benar mengetahui apa saja yang mempengaruhi mental masyarakat. Selain pendidikan, pers juga harus mendapat perhatian khusus presiden. Masyarakat harus diperlihatkan berita – berita yang objektif. Segala daya usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi sia – sia jika tiap hari masyarakat dicekoki berita – berita tendensius dan provokatif. Presiden juga harus berani melepaskan diri dari bos – bos media yang selama kampanye “membekingi”. Presiden harus sadar, bahwa mandatnya berasal dari rakyat, bukan dari bos media dan cita – citanya harus demi rakyat bukan demi bos media.
Beranikah pak presiden ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H