Pada masa awal berdirinya bank syariah di Indonesia, payung hukum bank syariah saat itu— UU No.7 tahun 1992—hanya menyebut bank syariah secara implisit. Bank syariah “disinggung” di pasal 6 ayat m yang menyebutkan perbankan bisa menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Dari definisi itu dapat diambil benang merah bahwa bank syariah memang diasosiasikan sebagai bank bagi hasil. Sehingga bisa dibilang bahwa pembiayaan bagi hasil merupakan inti dari pembiayaan bank syariah.
Dalam buku Bank Syariah : Teori dan Praktek, M. Syafi’I Antonio mengemukakan bahwa terdapat empat jenis akad utama konsep bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah yaitu ; mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah. Namun prinsip yang paling popular dan banyak digunakan oleh perbankan syariah di Indonesia adalah mudharabah dan musyarakah.
Sayangnya, meskipun pembiayaan bagi hasil merupakan pembiayaan primer pada bank syariah porsi pembiayaan ini masih kalah dibandingkan dengan pembiayaan berdasarkan skema jual-beli (murabahah). Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia, per Oktober 2009 total pembiayaan perbankan syariah mencapai 45,3 triliun dimana porsi pembiayaan musyarakah mencapai 6,4 triliun atau 14,1% dari total pembiayaan. Sedangkan pembiayaan mudharabah hanya sebesar Rp 10,2 triliun atau 22,5 %. Bandingkan dengan pembiayaan murabahah yang mencapai Rp 25,5 triliun atau porsinya sebesar 56,3%.
Problematika
Problem masih rendahnya pembiayaan bagi hasil di Indonesia bisa berasal dari berbagai sumber, yakni dari internal bank syariah, stakeholders, regulasi, dan faktor eksternal lainnya. Tetapi di artikel ini saya lebih menyoroti dari sisi internal bank syariah. Karena banyak studi yang menyimpulkan bahwa faktor internal yang paling memicu rendahnya pembiayaan bagi hasil.
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia tahun 2004, pernah membuat penelitian bahwa terdapat lima masalah internal bank syariah yang muncul seputar rendahnya pembiayaan bagi hasil di perbankan syariah, yaitu : Pertama, Pemahaman bankir syariah terhadap esensi bank syariah kurang. Kedua, Bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan keuntungan. Ketiga, kualitas dan kuantitas SDM belum memadai dan kurang menguasai seluk beluk penyaluran pembiayaan bagi hasil. Keempat, Aversion to effort yaitu bank syariah masih bersikap tidak mau repot atau melakukan hal-hal ekstra dalam mendampingi pengusaha. Kelima, aversion to risk yaitu bank syariah masih bersikap menghindar dari risiko.
Bankir Syariah
Pada dasarnya, permasalahan diatas masih relevan dengan keadaan sekarang. Dari fakta di lapangan, penulis berpendapat, faktor internal yang menjadi penyebab utama rendahnya pembiayaan bagi hasil adalah rendahnya kapasitas bankir syariah dalam memahami pembiayaan bagi hasil.
Rendahnya pemahaman bankir syariah terhadap pembiayaan bagi hasil akan menyebabkan bankir syariah kurang memberi informasi tentang pembiayaan bagi hasil. Bankir syariah dengan mudahnya akan menjelaskan panjang lebar tentang akad jual beli dengan keunggulannya berupa cicilan tetap. Tapi hal tersebut belum tentu terjadi ketika menjelaskan produk bagi hasil.
Akibatnya calon debitor pun minim informasi bahkan bisa salah persepsi (misperception). Misalnya, menganggap pembiayaan bagi hasil itu ribet. Bahkan bisa saja ada suatu proyek yang cocok diberikan pembiayaan bagi hasil, tapi karena ketidakpahaman pada kedua belah pihak, maka diambilah jalan pintas, misalnya menggunakan skema jual beli alias murabahah.
Apalagi perbankan syariah cenderung berkembang di kota-kota besar yang lebih banyak didominasi sektor perdagangan. Ditambah praktek murabahah lebih diterima masyarakat karena cenderung mirip dengan skema konvensional—bankir syariah juga kebanyakan dari bank konvensional. Seorang bankir syariah—seperti halnya bankir di bank lain—juga cenderung mencari jalan yang mudah dan cepat meng-gol-kan target pembiayaan. Sehingga mereka akan mendahulukan pembiayaan murabahah yang mudah di pahami debitor dan simple dalam analisa pembiayaan.