Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Serentak : Membangun Demokrasi dalam Budaya Politik Daerah

Diperbarui: 11 Agustus 2015   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut Almond, budaya politik merupakan suatu sikap orientasi yang khas masyarakat (daerah) terhadap system politik dan struktur politik yang sedang berlangsung. Dengan pendekatan kultural dalam mencermati fenomena politik daerah dewasa ini dapat di ketahui kecenderungan arah dan proses politik yang sedang berlangsung. Sehingga ketika melihat kondisi politik kekinian sekarang maka dapat menjadi catatan penting dalam perjalanan proses politik yang lebih mengarah pada sebuah sikap dan orientasi masyarakat dalam membangun demokrasi sebagai budaya politik daerah.

Namun budaya politik seperti apakah yang mampu membangun demokrasi di berbagai daerah? Dan apakah masyarakat di daerah jugak tanggap terhadap proses politik yang sedang berlangsung, misalnya pilkada serentak yang akan berlangsung 9 Desember 2015 yang akan datang. Sehingga representasi demokrasi dalam pilkada serentak merupakan representasi sikap dan orientasi politik masyarakat terhadap kepentingan mereka.

Budaya Politik Daerah

Budaya politik daerah dalam tataran nilai demokrasi pada prinsipnya merupakan sebuah sikap, pandangan dan orientasi moral masyarakat yang mencerminkan hak-hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran secara lisan, tertulis, berkumpul dan berserikat. Dan secara formal hak tersebut pun terkandung dalam konstitusi kita, namun secara materiil sebenarnya konstitusi kita tidak secara tegas menyatakan bentuk-bentuk manifestasi hak-hak demokratis tersebut. Melainkan pengaturan selanjutnya ditetapkan dengan undang-undang.

Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa euphoria reformasi sekarang seakan-akan ada kesadaran umum atau kesepakatan luas yang melintas dalam berbagai sikap orientasi politik, bahwa pertama, hak-hak demokratis sudah saatnya dimanifestasikan dalam bentuk yang sebebas-bebasnya. Kedua, salah satu bentuk manifestasi demokratis yang paling sederhana tersebut dan mudah adalah prosesi pemilihan langsung oleh rakyat dalam pemilu, pilpres hingga pilkada. Melihat kondisi sekarang, sepertinya demokrasi memang masih dipahami masyarakat sebatas pemilu, pilpres dan pilkada.

Trend ini menjadi polarisasi politik yang cukup mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan khususnya pada pilpres tahun 2014 yang lalu. Sikap dan orientasi politik masyarakat terpolarisasi menjadi dua kutub yang saling berhadap-hadapan sebagaimana struktur politik yang terbangun saat itu. Koalisi Merah Putih dengan capres Prabowo Subianto dan Jokowi dari Koalisi Indonesia Hebat. Mencermati fenomena politik nasional tersebut dapat menjadi tolak ukur bagaimana trend budaya politik nasional yang kemudian berimbang ke berbagai daerah.

Pada dasarnya hal tersebut menjelaskan bahwa sikap dan orientasi politik masyarakat masih tersandera dalam simbolisme politik sectarian. Masyarakat masih mudah dipengaruhi dan ikut dalam pragmatisme politik. Masyarakat begitu mudah tersulut dan terperosok jatuh dalam oleh agregat politik sectarian yang pragmatis.

Berkaca dari pilpres tersebut maka muara demokratisasi di Indonesia tidak selayaknya terpolarisasi dalam representasi figure capres yang diusung, namun seharusnya lebih substansial kepada komitmen dan program-program kerja pemerintahan 5 tahun kedepan.

Sebagaimana pilkada serentak yang akan dilakukan pada 9 Desember 2015 mendatang, setidaknya ada 7 daerah yang hanya memiliki calon tunggal kepala daerah. dan ada 81 daerah yang memiliki 2 pasangan calon kepala daerah. Artinya di daerah-daerah tersebut terjadi pula representasi demokrasi politik sebagaimana pilpres tahun 2014. Parpol yang ada seakan-akan jugak merasa tidak punya daya dan komitmen untuk membangun budaya politik yang lebih representative demokratis bagi masyarakat di daerah tersebut dengan “berani” menawarkan calon-calon pemimpin alternative lebih dari dua figure untuk dipilih oleh masyarakat di daerahnya. Bahkan ada parpol merasa sudah kalah dulu sebelum bertarung di pilkada ( ngapain ngajuin calon kalo untuk kalah juga). Lah emangnya bikin parpol itu untuk apa?

Dalam pemilihan langsung seperti pemilu, pilpres dan pilkada sejatinya merupakan pesta demokrasi yang mengutamakan prinsip-prinsip pemilihan yang langsung, umum, bebas dan rahasia (termasuk jujur dan adil). Dengan prinsip-prinsip demikianlah maka pemilihan langsung yang akan menemukan ruang dan waktu yang sebebas-bebasnya bagi masyarakat untuk memilih dan dipilih. Karena ketika masyarakat terlalu jauh ikut terlibat dan terpengaruh dengan aksi dukung mendukung calon pemimpin yang diusung parpol, maka sesungguhnya sikap dan orientasi politik masyarakat terjebak dan tersandera dalam representasi dan pragmatisme kepentingan politik sectarian maupun kepentingan parpol itu sendiri.

Budaya politik yang terjadi dan dibangun pun lebih mencerminkan reaksi-reaksi politik emosional ketimbang budaya politik rasional masyarakat. Dan ketika kita melihat maraknya aksi dukung-mendukung calon pemimpin atau figure oriented dimaksud justru membunuh demokrasi yang akan berlangsung, sebagaimana 7 daerah yang hanya memiliki calon tunggal diatas. Tidak ada greget politik apapun terhadap proses politik yang sedang berlangsung, yang ada justru KPU menjadi galau ketika “terpaksa” harus memperpanjang masa pendaftaran sesuai rekomendasi bawaslu tanpa ada aturan yang mendasari permasalahan calon tunggal yang mendaftar pada pilkada dimaksud. Hingga persoalan menggelinding apakah harus menunda pilkada terhadap 7 daerah tersebut hingga tahun 2017 atau mengadu calon tunggal tersebut dengan calon KD imaginer, kalau calon yang sudah terdaftar masih tidak punya lawan. Karena ke22nya inkonstitusional sebelum ada perppu yang jatuh dari langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline