Momentum lebaran identik dengan THR dan mudik. Namun THR memang lebih menjadi buah bibir menjelang lebaran. Mulai dari kuli bangunan hingga kuli tinta, pegawai dan buruh hingga para executive berdasi dan pejabat pun tidak akan lepas dari masalah ini. Dan pemberian THR paling lama H – 7 sebelum lebaran merupakah salah satu alasan yang relevan dan logis atas fenomena mudik dan naiknya harga-harga di pasaran pada saat puasa hingga menjelang lebaran. Karena tidak hanya kebutuhan pokok tapi semua kebutuhan masyarakat, baik primer, sekunder dan tersier akan terimbas naik seiring berlakunya hukum ekonomi. Walaupun pemberian THR ini secara normative sudah diatur dan dibuat surat edarannya setiap tahun, namun ternyata masih ada juga laporan yang masuk mengenai pemberian THR ini di instansi ketenagakerjaan setempat. Ini setidaknya membuktikan bahwa relative masih ada (baca : sedikit) pengusaha yang ‘bandel’ atau mungkin pula belum sesuai (tidak) memberikan THR tersebut kepada para pekerjanya.
Filosofi Pemberian THR
Ketentuan pemberian THR ini diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per- 04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, dan penegasannya kemudian dibuat dengan Surat Edaran mulai dari Menteri, Gubernur hingga Bupati / Walikota setiap tahunnya. Dilihat dari ketentuan normative peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemberian THR merupakan kewajiban pengusaha kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih.
Dalam ketentuan tersebut memang tidak menegaskan sama sekali kalau THR adalah hak pekerja atas jasa kerjanya kepada perusahaan. Namun demikian apabila dilihat dari konsideransnya, filosofi diatur dan diberikannya THR ini sebenarnya merujuk pada pengamalan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana masyarakat Indonesia pada umumnya merupakan masyarakat pemeluk agama yang ber- Ketuhanan yang setiap tahunnya merayakan hari keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dan seorang pekerja sebagaimana pemeluk agama pada umumnya pun untuk merayakan hari raya tersebut relative memerlukan biaya tambahan untuk itu, sehingga sudah sewajarnya pengusaha memberikan THR kepada para pekerja.
Hal ini sebenarnya juga bukan hanya karena untuk menciptakan ketenangan berusaha bagi pengusaha atau peningkatan kesejahteraan (baca : upah /pendapatan) pekerja melalui THR tersebut. Lebih jauh inilah sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan pengusaha yang notebene adalah pemeluk agama yang ber-Ketuhanan pula. Lain soal kalo tidak? Apabila pengusaha tersebut merayakan hari besar keagamaannya sesuai agama dan keyakinannya pun memerlukan biaya / pengeluaran lebih dari keperluan rutin biasanya. Bagi pengusaha yang memahami hal ini tentunya tidak akan merasa ‘keberatan’ dan tidak sulit untuk melaksanakan kewajibannya memberikan THR kepada pekerja dan pegawai yang bekerja padanya. Karena dari persfektif ini, pemberian THR adalah manifestasi keimanan antara pemeluk agama yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu antara pengusaha dan para pekerjanya.
Hubungan kerja yang dibangun berbasis saling menghargai dan menghormati agamanya termasuk beribadah sesuai dengan keimanannya tersebut. Hal ini bukan hanya mulia secara moral namun juga pertangungjawaban keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi setiap pemeluk agama dalam hidup bermasyarakat. Hal inipun selaras dengan makna bekerja yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja sebagai rujukan yuridis pemberian THR dari Peraturan Menteri Tenaga kerja diatas.
Dimana makna bekerja dapat dilihat dari segi perorangan, kemasyarakatan dan dari segi spiritual. Dari segi perorangan adalah gerak daripada badan dan pikiran setiap orang guna memelihara kelangsungan hidup badaniah maupun rohaniah. Dari segi kemasyarakatan adalah melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dari segi spirituil adalah merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga dari ketiga persfektif ini, maka makna bekerja tidak hanya sebatas hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja semata, namun lebih jauh juga berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan dan hubungan transenden spiritualitas antara manusia dengan tuhannya. Alasan logisnya adalah bagaimana pekerja bisa bekerja, hidup bermasyarakat sekaligus beribadah dengan baik dan benar, sementara kebutuhan fisik dan jasmani, dan rohaninya belum terpenuhi secara layak? Dan sepertinya dari ketiga persfektif inilah relevansi pemberian THR yang lebih mendasar yang harus kita pahami. Jangan sampai pemberian THR hanya karena diatur dan dipaksakan oleh undang-undang dan mempunyai sanksi pidana, sehingga pengusaha pun mematuhinya.
Sanksi Pelanggaran Pemberian THR
THR memang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga sanksi pidananya pun tidak ada. Yang mungkin hal ini luput dan didegradasi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang esensinya hanya mengatur perlindungan terhadap tenaga kerja dalam pembangunan ketenagakerjaan dan perkembangan dunia usaha semata. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pekerja/ buruh dinilai / dihargai karena ia bekerja guna menghasilkan barang dan/ atau jasa. Dan nilai / harga yang dibayar atas kerjanya adalah upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sementara Permenaker mengenai pemberian THR diatas masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 yang telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Padahal dalam UU yang telah dicabut inilah, makna bekerja mempunyai makna filosofis yang luas dan mendalam. Dan hingga saat ini Permenaker mengenai pemberian THR itu pun belum juga diregulasi kembali oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan yang baru sekaligus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang masih berlaku. Sehingga regulasi pemberian THR ini hingga saat ini sepertinya terkesan sia-sia dan tidak serius, karena hanya tergantung dengan kebijakan diskresioner pemerintah yang termasuk dalam wilayah hukum public atau administrasi negara.