Lihat ke Halaman Asli

Kebenaran ataukah Hanya Sebuah Kebetulanisme

Diperbarui: 25 Juli 2016   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekedar merespon twit @nb_senja semalam masalah bijak dan bajik, yang disebut Plato "sophos" atau sama dengan "makhluk bijak" dalam karyanya Phaidros.

Sebenarnya istilah sophos sendiri terlalu luhur bagi manusia, yang hanya layak untuk dewa. Bagi plato manusia cenderung lebih pas disebut sebagai "pecinta kebijaksanaan’ atau philosophos. Namun kebijaksanaan dalam hal ini (lebih) terkait dengan sifat ilmu (logos) sebagai upaya pencarian terus menerus tentang esensi dan eksistensi dari sesuatu, yaitu KEBENARAN.

Hidup adalah sebuah aktivitas (ikhtiar) manusia dalam (proses) pencarian (mencari) kebenaran (hanif). Ketika kita berhenti dalam proses itu, sama halnya dengan kita berhenti (untuk) hidup. Suatu “kebenaran” (atau setidaknya yang dianggap BENAR) itu relative sifatnya, karena sejatinya kebenaran adalah (hanya) suatu “kesalahan” dan “kekeliruan” yang universal.

Sehingga sebagai manusia akan selalu mencari dan mengejar kebijaksanaan (kebenaran), karena didorong oleh cintanya kepada kebijaksanaan itu. Pun sama halnya dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu bersentuhan dengan segala sesuatu hal yang menyangkut soal-soal “kebijaksanaan’ ini.

Ketika seseorang mempertanyakan keberadaan atau eksistensi sesuatu (anything, misalnya orang, benda (thing)), maka pada saat itu ia dapat dikatakan tertarik (fall in love) kepada keberadaan atau eksistensi sesuatu itu (anything).Dan di saat itulah ia mulai mencintai kebijaksanaan itu sebagai “sebuah kebenaran” dalam wujud "eksistensi" -nya masing-masing. Dalam bentuk realitasnya, kebenaran itu dapat berwujud seperti uang, wanita, harta dan tahta adalah merupakan focus atau wujud (kebijaksanaan) yang paling dicintainya itu.

Saat itulah ia mulai berfilsafat dalam arti yang sebenarnya. Ia beretorika dan berdialektika mencari kebenaranNya. Untuk itulah manusia tidak akan lepas dari #filsafat atau dialektika hidup. Ia mulai menanyakan sesuatu, antara ada (dan) tiada. Apa itu manusia, dimana tuhan? Dan sebagainya. Dari hasil dialektika itu kemudian ia menemukan kebenaranNya. Saat itulah manusia (mulai) percaya. Yang kemudian meyakininya (iman).

Bagi orang yunani dan seluruh kejayaannya, sophia adalah sebutan bagi dewi kebijaksanaan. Ia (sang dewi kebijaksanaan) hanya bisa ditemui oleh orang-orang yang benar-benar mendedikasikan hidupnya bagi pencarian makna hidup.

Sang pencinta (shopos) hanya mencari sang kebenaran. Sebuah kerinduan intelektual dengan cara bertanya terus menerus tentang rahasia atau misteri hidup.

Filosof ulung yunani #Herodotus menggunakan kata kerja philosophein dengan pengertian "berusaha menemukan". Dan #phytagoras memahami sophia sebagai "pengetahuan hasil kontemplasi". Para filsuf klasik lainnya seperti thales, anaximandros, anaximenes, herakleitos, parmenides dianggap memiliki keunikan pemikiran tentang sophia. Bagi mereka sophia dalam arti tertentu dipersatukan dan dimutlakan dalam keteraturan kosmos.

Dalam guratan modernisme (postmodernisme), Sang Sophia dikaji, dielaborasi, diekspansi dalam diri manusia sebagai kosmis. Sedangkan manusia adalah ruang lingkup kosmis dalam kosmos (semesta) yang selalu terkait dengan fenomena (yang tampak) maupun dengan noumena (yang tidak tampak).

Para filsuf moderen seperti descartes, kant, hegel, comte, marx, schopenhauer, nietszche, fichte, schelling, sartre, husserl, dsb telah membuktikan hal tersebut. Dengan cara lain, kebijaksanaan pada gilirannya merupakan sebuah RAHMAT (gratia) bagi para pecinta kebijakaanaan itu sendiri. Hanya bagi orang-orang yang cinta sophia dan memahaminya saja yang membuat kontinuitas filsafat tak (akan) pernah mati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline