Suatu hari, di penghujung 2010, saya mampir ke salah satu gedung bioskop di Jakarta Selatan. Di sana, saya kepincut dengan gambar poster film yang terpampang di dinding koridor berjudul Buried. Saat melihatnya kala itu, yang ada di benak saya, karya sinematik tersebut pasti seru, mencekam, dan penuh adegan aksi serta teka-teki.
Untuk memastikannya, saya mengunjungi situs Rotten Tomatoes dan IMDB yang kerap menerakan skor untuk sejumlah film. Kalau dilihat-lihat, rating film itu lumayan tinggi. Pemeran utamanya pun oke: Ryan Reynolds. Dalam hati, saya meyakini, mustahil film itu bakal mengecewakan. Jadilah saya membeli tiket dan menontonnya.
Benar saja! Baru memasuki sepuluh menit pertama tayangan, saya sudah dibikin tegang dengan akting Ryan Reynolds yang dalam situasi terkurung di sebuah peti. Saya berharap, tidak lama lagi sang aktor akan berhasil keluar dari kungkungan dan beraksi meringkus para pemeran antagonis.
Namun, fakta cerita menyatakan lain. Selama sembilan puluh menit durasi film, tokoh utamanya hanya bermain-main dengan geretan dan ponsel tua. Bahkan, semua adegannya berlangsung hanya di dalam peti yang pemerannya saja sulit untuk bangun, apalagi menerjang lawan.
Kekecewaan yang saya rasakan rupanya dialami juga oleh sejumlah penonton lain. Usai menyaksikan film, beberapa pengunjung tergelak sambil mengutarakan cemooh. Saya pun membatin, mungkin itu salah satu film terburuk yang pernah saya saksikan. Kalau benar begitu, kenapa situs pemberi rating film menerakan nilai cukup tinggi untuk Buried?
Resensi yang menyajikan wawasan konteks
Pada perjalanan pulang, saya penasaran dan mulai mencari tahu alasan itu. Saya pun menelusuri dan mengunjungi sejumlah artikel ulasan film di situs media daring luar negeri. Setelah membacanya, saya merasa seperti menemukan kesan mendalam dari film Buried. Secara perlahan, saya mulai beroleh alasan mengapa film tersebut mendapatkan rating tinggi.
Sambil terus membaca artikel dan mengingat kembali beberapa adegan film, saya kian merasakan kepedihan mendalam yang dialami pemeran utamanya. Rupanya, konflik Irak dengan Amerika Serikat (AS) bukan cuma benturan yang terjadi antar-anggota pasukan militer dengan peralatan tempur supercanggih. Jauh ke dalam, situasi perang tersebut juga turut memengaruhi sentimen negatif, terutama di mata warga Irak.
Dalam film Buried yang hanya mengambil latar bagian dalam peti yang temaram, saya bisa memahami betapa warga setempat begitu tersiksa dan turut menjadi korban atas konflik militer itu. Mereka bahkan beranggapan bahwa semua orang asing, apalagi warga negara AS, adalah anggota pasukan militer yang layak dimusuhi.
Buktinya, tokoh utama film, seorang sipil berkebangsaan AS yang tidak berdosa, bisa menjadi korban penyekapan karena dituduh sebagai anggota pasukan militer. Warga biasa di Irak pun, secara mendadak, bisa bersalin status menjadi penyandera lantaran terbelit masalah ekonomi. Adapun aparatur pemerintahan AS, bukannya membantu tersandera, malah mempersulit proses dengan menerapkan birokrasi yang berbelit.