Beirut pernah punya julukan "Parisnya Timur Tengah" (The Paris of the Middle East). Sebutan itu muncul bukan tanpa sebab.
Ibu kota Lebanon ini pernah dihuni warga yang berpengetahuan luas, buah dari pertukaran wawasan warganya yang punya latar belakang agama dan budaya yang beraneka macam. Wajar jika kemudian Beirut menyandang label sebagai kota kosmopolitan laiknya Paris.
Namun suasana hidup yang heterogen itu pernah dirusak oleh perang saudara selama 25 tahun. Pada periode 1975-1990 itu, kehidupan penuh ragam nan harmonis di sana mendadak bersalin rupa menjadi penuh curiga.
Kecurigaan yang kemudian berbuah pertikaian dan peperangan antar warga sipil.
Kondisi itu bahkan diperparah dengan keikutsertaan Suriah, Israel, Amerika dan kelompok bersenjata Palestine Liberation Organization (PLO) yang berharap meraup "untung" dari mala di salah satu kota paling tua di dunia itu.
Dalam konteks itu, sutradara Brad Anderson masuk dan mengadaptasinya menjadi sebuah drama thriller politik. Agar tidak cuma jadi film talky, beberapa tokoh dihadirkan dalam perannya sebagai agen mata-mata.
Di sini, penulis skenario, Anthony Joseph "Tony Gilroy" adalah jagoannya. Persoalan laku peluluk dan aneka siasat yang melingkupinya sudah bukan hal asing baginya. Lihat saja naskah yang ia buat untuk trilogi Bourne.
Simak bagaimana Gilroy mampu mengembangkan cerita dengan selipan aneka kelokan cerita (plot twist) di dalamnya. Ia bahkan mampu mencicil kejutan kecil di tengah cerita dengan kehadiran kejutan besar di pengujungnya.
Duet sutradara dan penulis naskah itu pun akhirnya menghasilkan film Beirut dengan karakter tokoh dan cerita yang kompleks. Satu bagian cerita saja yang terlewat, bisa bikin kita bertanya-tanya tentang adegan di akhir laga.
Jalan Cerita
Dan tokoh utama kita dengan karakter yang kuat dan perannya yang sangat maksimal adalah Mason Skiles (Jon Hamm). Di sela-sela tugasnya sebagai seorang diplomat pada 1972, ia dihadapkan pada peristiwa berdarah yang sekaligus mengubah jalan hidupnya.