Lihat ke Halaman Asli

Asep Wijaya

TERVERIFIKASI

Pengajar bahasa

"Darkest Hour", Potret Sikap Kepala Batu Perdana Menteri Churchill

Diperbarui: 16 Januari 2018   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

comingsoon.net

 Sebagian kita, tentu masih ingat suasana rapat dengar pendapat yang dihadiri Perdana Menteri David Cameron di Majelis Rendah Parlemen Inggris pada medio Juli 2016. Saat itu, Cameron dari Partai Konservatif dicecar sejumlah pertanyaan oleh anggota Partai Buruh seputar hasil referendum yang menunjukkan mayoritas rakyat Inggris menghendaki negaranya keluar dari keanggotaan Uni Eropa.

Di sebuah ruang sidang parlemen dengan beberapa kursi yang saling berhadapan itu, silang pendapat antara Cameron dan anggota Partai Buruh berlangsung sengit. Tapi jangan pernah menyangka aksi lempar argumentasi itu diwarnai keributan yang destruktif dan berakhir dengan adu-jotos. Justru yang terjadi adalah riuh rendah laku canda-tawa para anggota parlemen yang tetap menyampaikan argumentasi secara logis.

Sinopsis Film

Suasana serius tapi santai semacam itu rupanya tidak terjadi di masa Perang Dunia II, sebagaimana potret sinematik di film Darkest Hour. Anggota Parlemen Inggris yang terbelah menjadi dua kubu tampak kesulitan membalut pendapatnya dengan canda yang berujung tawa.

Seluruh anggota Partai Buruh, dengan tampang serius, malah menyerukan mosi tidak percaya dan meminta Neville Chamberlain (Ronald Pickup) meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris.

Situasi parlemen seperti itu bisa dipahami mengingat sejumlah negara di Eropa dalam ancaman penjajahan Pasukan Nazi Jerman. Inggris, pada masa itu, tentu saja, bukan pengecualian. Pada medio 1940 tersebut, negeri itu, justru di ambang kolonisasi Der Fuhrer lantaran sebagian besar wilayah Prancis dan Belgia sudah ditaklukkan. Kedua negeri itu dianggap sebagai pintu gerbang menuju Inggris.

Di tengah kondisi tersebut, Chamberlain dinilai gagal mengantisipasi ancaman Nazi Jerman. Sebagai konsekuensinya, ia diminta mundur dan Partai Konservatif dituntut mencari penggantinya dan sosok itu harus bisa membentuk koalisi dua partai. Nama Menteri Luar Negeri Viscount Hallifax (Stephen Dillane) sempat mencuat, namun ia menolak dicalonkan sebagai perdana menteri.

Belakangan, para elit Partai Konservatif menyadari ada satu nama yang juga merupakan petinggi partai dan mampu merangkul Partai Buruh untuk menggalang persatuan demi melawan ancaman Nazi Jerman. Tapi ia, sebenarnya, adalah pilihan terakhir dan malah tidak dikehendaki lantaran keputusannya kerap kali kontroversial. Pilihan kebijakannya pun sulit ditebak.

Sosok itu, tidak lain, adalah Winston Churchill (Gary Oldman). Tokoh yang dinilai sebagai penjagal karena pernah terlibat dalam keputusan mengirim ribuan anggota militer Inggris ke Semenanjung Gallipoli pada Perang Dunia I. Keputusan yang berakhir duka bagi Inggris lantaran puluhan ribu tentaranya tewas dalam perang yang dimenangkan oleh Kesultanan Utsmaniyah (sekarang Turki).

Atas rekam jejak seperti itu, para elit politik, tentu tidak terkejut dengan orasi pertama Churchill di Majelis Rendah Parlemen Inggris. Ia meneguhkan sikap never give up, never give in terhadap Hitler dan menawarkan seruan perang melawan Nazi kepada anggota parlemen. Seruan yang ditanggapi dengan keraguan oleh Partai Buruh dan partainya sendiri, Partai Konservatif.

Untuk menopang keputusannya itu, Churchill membentuk Kabinet Perang. Sebuah kabinet koalisi yang juga melibatkan Chamberlain dan Hallifax, dua tokoh yang hendak menggulingkan kekuasaan Churchill tidak lama setelah pengangkatannya sebagai perdana menteri. Keduanya bahkan meminta dukungan kepada Raja George VI (Ben Mendelsohn) yang juga menyimpan ketidakyakinan akan kebijakan perang Churchill.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline