Seolah lewah memang. Tapi ini nyata. Sebutir nyeri yang menempel di dinding mulut atau lidah bisa bikin kita sulit berperi. Bila hanya berperi biasa, itu bukan menjadi soal. Seperti berperi atau bercakap-cakap dengan kawan dan sanak famili. Namun jika berperi dalam upaya kerja mencari berita, bersua narasumber dengan tenggat waktu pengiriman warta yang terus mengejar, ini benar-benar masalah.
Cerita bermula di awal 2012. Kala itu, saya masih bekerja menjadi reporter di salah satu media cetak nasional. Ada tugas penulisan liputan khusus dari redaksi ihwal nasib para veteran nasional. Di tengah hiruk pikuk pemberitaan di Pengadilan Tipikor, tempat saya mencari berita, redaksi melayangkan tugas penulisan liputan khusus. Ini tentu saja tantangan sekaligus rintangan. Tapi tugas harus dijalani.
Sejatinya, persoalan yang muncul bukan pada penulisan berita. Tapi ada nyeri yang tetiba muncul di area sekitar lidah. Orang menyebut itu sebagai seriawan. Sontak saja, aneka masalah bermunculan, di luar tugas perburuan narasumber dan penulisan berita. Tersebab nyeri di lidah.
Sulit Konsentrasi
Nyeri akibat seriawan menyebabkan saya sulit berkonsentrasi. Apalagi di tengah himpitan kewajiban menulis berita rutin yang melimpah dan penulisan liputan khusus. Dalam kondisi sehat saja, dua tugas ini cukup menyita waktu dan konsentrasi. Apalagi saat seriawan mendera. Memang penyakit ini hanya berukuran sebutir beras di area mulut. Tapi efek nyerinya menjalar ke kepala.
Gangguan seriawan yang merambat ke kepala ini benar-benar menghambat tugas saya. Misalnya saat mengembangkan TOR dari redaksi dan menyusun pertanyaan. Seringkali ide yang ada di kepala menguap seketika senyampang dengan nyeri yang menjalar ke kepala. Fokus pun tetiba beralih jadi menahan perih alih-alih menyusun pertanyaan.
Gangguan Artikulasi
Saat pertanyaan tersusun, waktunya melemparkan deretan tanya itu kepada narasumber terkait. Tapi di sini masalahnya. Butir seriawan yang hinggap di lidah seolah mengganggu komunikasi saya. Gegara menahan nyeri, artikulasi saya pun terhambat. Sehingga banyak kata yang jadi tak jelas didengar narasumber. Akibatnya, narasumber menjadi terganggu dan hilang pula konsentrasinya.
Saya beberapa kali mengulang tanya akibat kata yang tidak terartikulasi dengan benar. Waktu pun terbuang. Target narasumber pun tak tercapai. Tenggat mengejar. Pikiran bertambah ruwet. Tersebab si butir nyeri di mulut bernama seriawan.
Aroma Mulut Tak Sedap
Entah ini terjadi pada orang lain atau tidak. Akan tetapi, seriawan kerapkali bikin malas makan. Lantaran sakit saat mengunyah makanan, saya pun sedikit enggan makan saat seriawan. Akibat kurang makan, tidak ada asupan yang masuk ke lambung sehingga lambung mengeluarkan sejenis gas. Ini barangkali yang menyebabkan bau mulut. Pengalaman ini yang kemudian tidak mengenakkan bagi saya.