Lihat ke Halaman Asli

Amburadulnya Sistem Hukum di Indonesia, Dimulai dari Amandemen UUD 45

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13676477461510916063

Foto  :  www.baratamedia.com

Teringat akan satu ujar-ujar Orang Jawa yang mungkin itu juga ramalan " wong bodho ngaku pinter, wong Pinter padha Keblinger " artinya orang bodoh mengaku pintar, orang pintar salah arah. - ternyata terjadilah kondisi saat ini di Indonesia, bahwa orang pandai salah arah dan Kebablasan, hanya didasari rasa dengki dan dendam pada ORDE BARU , kepintarannya dipergunakan untuk mendongkel Fondasi bangunan Negeri ini, UUD 45 di Amandemen, hasilnya ? wong Bodho ngaku pinter, orang-orang bodoh mengaku pintar, berbondong-bondong melalui koneksi keluarga dan duit, berlomba menjadi WAKIL RAKYAT. Dan ini telah terjadi ! Amandemen UUD 45, dilihat dari berbagai alasan yang diajukan para REFORMIS yang semua Pakar Hukum, ternyata tidak jauh dari kepentingan untuk dapat berkuasa. Hanya sebagai alasan untuk menumbangkan Tradisi Orde Baru yang tidak memungkinkan eksistensi mereka . Undang Undang Dasar adalah merupakan FONDASI DASAR dari satu NEGARA HUKUM. Atau UUD merupakan bukti nyata bahwa Negara adakah Negara Hukum. Undang-Undang Dasar memuat semua Dasar Filosofi Hukum yang memuat azaz-azaz hukum yang berlaku : Bukan MASALAH TEKNIS yang harus dijabarkan dalam bentuk Undang Undang. Oleh karenanya UUD harus hanya memuat filosofinya saja yang di jabarkan dalam POKOK POKOK PIKIRAN yang terkandung dalam Filosofi. TIDAK BOLEH MENJANGKAU pada masalah teknis, karena masalah teknis itu bersifat dinamis berkembang sedangkan UUD harus bersifat statis. Itulah mengapa UUD harus singkat, hanya memuat pokok-pokok pikiran dan harus supel, dapat mengikuti perkembangan jaman tanpa harus diubah. Karena ibarat bangunan FONDASI HARUS KOKOH, mengubah Fondasi berarti robohnya bangunan. Marilah kita tengok betapa idealnya UUD 45 yang disusun oleh para founding Father. Penuh Filosofi, mengalir berkesinambungan sejak dari awal paragraf pembukaan sampai batang tubuhnya. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan dijabarkan luwes melalui batang tubuh dengan pasal-pasalnya yang supel, cukup memuat semua pokok-pokok pikiran dan tidak akan pernah ketinggalan jaman. Pandangan sifat luwes yang dimiliki UUD 45 ternyata telah disalah artikan dengan memilki multi tafsir oleh para Prof. Yang pinter tapi keblinger tokoh reformasi, sehingga diubahlah UUD 45 untuk tidak multi tafsir, dengan memasukkan masalah-masalah teknis yang bersifat dinamis kedalam UUD 45. Tanpa mereka sadari bahwa dimasukkannya masalah teknis yang seharusnya menjadi kewajiban undang-undang itu, akan menjadikan UUD harus selalu di amandemen, saat masalah itu sudah tidak relevan lagi. Marilah kita kaji ulang betapa konyolnya para REFORMIS dalam mendesain ulang UUD 45 yang nyaris sempurna justru menjadi amburadul. Tentang bentuk dan kedaulatan. UUD 45 sebelum amandemen : Pasal 1 (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. UUD 45 setelah di Amandemen. Pasal 1 (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Komentar : Ayat 1 tidak diubah Ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar HARUS TIDAK MEMUAT SESUATU YANG BERSIFAT TEKNIS akan tetapi disini dipaksakan UUD harus melaksanakan teknis yang seharusnya dilakukan oleh Undang-undang. Dari semula yang jelas memenuhi syarat UUD, yang tidak mengatur masalah teknis tapi memuat pengertian pokok-pokok pikiran yang secara filosofis terkandung dalam Pembukaan UUD 45 tentang Kedaulatan Rakyat yang diujudkan dalam sila ke empat " Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang berbunyi : Ayat (2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya olehMajelis Permusyawaratan Rakyat. Itulah satu bukti bahwa, apa yang dilakukan orang-orang Pintar, yang mengubah ayat 2 ini adalah pemikiran orang-orang keblinger. Penambahan ayat 3 dalam pasal ini, adalah sungguh ayat yang hanya mengada-ada , ayat yang ditambahkan untuk membangun citra bahwa mereka orang-orang yang peduli hukum. Tapi itu pengertian KEBLINGER lagi, karena penulis tidak akan berani mengatakan mereka bodoh, karena semua mereka adalah PAKAR HUKUM. Pengertian dari UUD salah satunya adalah sebagai sumber hukum. Dan UUD adalah masalah falsafah, masalah azaz penulisan pasalnya digebyah uyah dengan Undang-undang , kalau UUD itu dibuat untuk pembuat Undang-undang, maka Undang-undang dibuat untuk rakyat. Tanpa disebut bahwa Negara ini negara hukumpun, dengan adanya UUD maka itu berarti Negara adalah Negara Hukum. Penulis tidak tahu, apakah para Reformis itu pintar, bodoh atau pikun, dengan menambah ayat 3 pasal ini yang berbunyi (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Sadarkah mereka bahwa bila Negara Indonesia itu bukan Negara Hukum tidak perlu dibuat Undang-Undang Dasar. Lebih keblinger lagi pernyataan yang menjadi alasan mereka bahwa kenyataannya Presiden dipilih oleh MPR bukan oleh Rakyat. Apa bedanya MPR dengan Rakyat ? Apakah karena MPR yang benar tidak bisa dikibuli dan rakyat akan mudah dibohongi ? Keblinger terparah adalah amandemen pada Kekuasan Kehakiman, yang menjadikan Hukum di Indonesia amburadul dan tanpa arah. Amandemen UUD dengan alasan asalah satunya untuk membatasi kekuasaan Presiden akan tetapi realitanya dengan amandemen justru memberikan kesempatan kepada Presiden untuk mencampuri Hukum secara langsung tapi tidak transparan, atau dengan kata lain mengendalikan hukum lewat jalan belakang. Marilah kita lihat pasal-pasal itu. : Sebelum amandemen : Pasal 24 (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang. (2) Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-undang. Disini tampak jelas bahwa kekuasaan kehakiman yang tunduk sepenuhnya terhadap Undang-undang, sedangkan undang -undang itu adalah kewenangan Badan Legislatif nyaris tidak ada campur tangan Pemerintah disini. Ini bentuk nyata dari sebuah Negara Hukum ( tidak perlu ada ayat 3 pada Pasal 1 diatas yang merupkan ayat dagelan ) Sekarang kita bandingkan dengan Kekuasaan Kehakiman setelah amandemen. Pasal 24 (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Pasal 24A (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. (2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. (5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24B (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Pasal 24C (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Blunder amandemen secara umum sekurang-kurang terbagi menjadi dua hal penting : 1. Pemuatan Pasal 24 A/B/C Itu menyangkut masalah tenis, bukan filosofis sehingga merupakan kewajiban Undang-Undang untuk menjabarkannya, bukan Undang Undang Dasar. Memasukkan pasal-pasal itu dalam Undang-undang Dasar merupakan pemaksaan dengan tujuan tetentu dalam bahasan ayat per ayat. 2. Tujuan memasukkannya pasal dan ayat-ayat tersebut merupakan upaya untuk memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk menekan Kekuasaan Kehakiman melalui deal-deal ilegal dibelakang layar. Kritik ayat per ayat : Pasal 24 : (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang. (2) Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-undang. Dua ayat yang supel dan cerdas, lugas penuh filosofi dan menyelesaikan. Sekarang kita bandingkan setelah diubah menjadi 3 ayat bodoh dalam amandemen menjadi (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ayat ini di copy paste dari pelajaran ilmu Hukum untuk mahasiswa semester satu yang menjelaskan tentang kekusaan kehakiman, masih layak ditempatkan dalam Undang-undang tapi sangat naif sebagai salah satu ayat dalam UUD. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Jelas tujuan ayat ini hanyalah untuk memasukkan Mahkamah Konstitusi kedalam Undang-Undang Dasar dan menempatkan Mahkamah Konstitusi dibawah Mahkamah Agung merupakan satu amanah konstitusi. Kalau betul dibutuhkan Mahkamah Konstitusi, mengapa harus diletakkan dibawah Mahkamah Agung ? Kalau harus ada Mahkamah Konstitusi, maka letaknya harus dibawah konstitusi itu sendiri bukan dibawah Mahkamah Agung, karena Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang dibawah Konstitusi sedangkan Mahkamah Agung merupakan pelaksana Undang-undang. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Tentang upaya pemberian kesempatan campurtangan Pemerinth secara ilegal dapat dilihat dari ayat-ayat berikut ini.: Pasal 24 A ayat (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Pasal 24 A ayat (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. Pasal 24 B ayat (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 24 C ayat (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Ternyata campur tangan Presiden secara illegal terhadap hukum, itu peluangnya dibuka melalui Komisi Yudisial. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak akan pernah bisa lepas dari intervensi Presiden. Dengan kata lain HUKUM di Indonesia ini ada ditangan Presiden karena Polisi dan Jaksa jelas ada dibawah kewenangan Presiden sedangkan Kekuasaan Kehakiman baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi de jure adalah independen tapi de facto, ada campur tangan Presiden disana. Pertanyaannya, mengapa Kaum Reformis yang tidak mewakili Pemerintah justru melakukan Amandemen UUD 45 yang kemudian memberi peluang kepada Pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap HUKUM? Karena mereka mempunyai harapan besar, dengan pembatasan masa Jabatan Presiden, mereka akan secara bergantian mendapat kesempatan untuk duduk sebagai Presiden. Itulah mengapa keputusan tentang Susno Duaji tidak bergantung kepada HUKUM ( pasal 97 ayat 1 dan 2 ) akan tetapi bergantung pada Kebijakan Politik Presiden, melalui AROGANSI Jaksa Agung dengan KEWENANGAN Mahkamah Agung dan Juri timpang Mahkamah Konstitusi. Salam amburadul Hukum Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline